Oleh: Romes Irawan Putra SH MH
Katakata.id – Ada kabar baru dari program perlindungan hutan di Provinsi Riau. Program itu bernama adopsi pohon yang ditujukan bagi pemilik izin perhutanan sosial baik berbentuk Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan dalam skema Perhutanan Sosial (PS).
Dalam siaran persnya saat peluncuran program pada 11 Agustus 2021 lalu, Pemerintah Daerah Riau menyebut bahwa program seperti ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan pemerintah dalam melindungi hutan di kawasan berjenis izin PS.
Gubernur Riau Syamsuar menyebut setidaknya sudah terkumpul dana sejumlah Rp2 miliar dari berbagai pihak termasuk perusahaan. Dalam laman platform program adopsi pohon ini terlihat 9 dari 10 pengadopsi teratas adalah perusahaan yakni sawit dan minyak. “Hari ini tercapai adopsi pohon kita sebanyak 10.613 pohon. Ini satu pohon dananya Rp200 ribu, berarti terkumpul dana sekitar Rp2 miliar lebih,” kata Syamsuar dalam rilis itu.
Konsepsi program ini adalah memberikan dana kepada pemilik izin PS. Dana itu diperoleh dengan cara pengadopsian pohon. Bagi pohon berdiameter 40 cm lebih akan diberi dana 200 ribu rupiah untuk satu tahun. Bagi pohon yang diameternya kurang dari itu diberi 50 ribu rupiah untuk satu tahun.
Syamsuar menyebut program adopsi pohon ini sebagai bagian dari konsep Riau Hijau. Pemberian uang kompensasi dari menjaga pohon tersebut diharapkan bisa memberi banyak manfaat bagi masyarakat di desa yang sudah mendapatkan hak pengelolaan hutan dalam skema PS tersebut. Ia menambahkan dana itu bisa digunakan untuk kegiatan di desa termasuk infrastruktur, pendidikan dan sebagainya.
Mungkin kita harus berhenti sejenak sembari melihat bagaimana perjalanan program Perhutanan Sosial di Riau hingga sekarang. Dengan demikian kita bisa mengetahui apakah program ini mampu menyelesaikan masalah utama terhambatnya program PS Jokowi tersebut.
Sepanjang perjalanan saya ke sejumlah komunitas yang mendapatkan izin perhutanan sosial di Riau, masalah utama mereka ada dua. Pertama, maraknya pembalakan liar. Sepanjang diskusi dengan pemegang izin PS, penebangan ilegal ini jelas tidak bisa dihentikan jika tidak dibantu oleh aparat hukum. Penegak hukum yang sesungguhnya bisa diandalkan adalah polisi hutan, anggota kepolisian RI serta bupati.
Masalah kedua adalah tiadanya dana operasional untuk mengawasi hutan desa, hutan adat dan hutan kemasyarakatan itu. Praktis, sejak mendapatkan izin Perhutanan Sosial dari Presiden Jokowi, yang sudah dilakukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Hutan Adat baru sebatas menyelesaikan pemetaan zonasi, Rencana Kegiatan Tahunan (RKT) dan Rencana Kegiatan Usaha (RKU). Dua dokumen ini, bahkan ada yang baru selesai dibuat setelah bertahun-tahun mendapat Surat Keputusan PS.
Mendekati masa kadaluwarsa izin PS ini, tak satu pun yang sudah mencapai tahap pengelolaan. Padahal salah satu tujuan dari PS adalah bagaimana kawasan hutan ini memberi dampak bagi kesejahteraan masyarakat tanpa merusak.
Tahapan dokumen RKT/RKU hanyalah masalah administrasi dan itu pun cukup berlarut dan tertatih. Sebab mau diakui atau tidak, asistensi pemerintah daerah Riau untuk mendukung PS tidak sebesar yang dicitrakan di media. Dan minimnya asistensi pemerintah daerah baik dalam hal program insentif ekonomi alternatif maupun penganggaran menjadi masalah ketiga tersendatnya program PS ini.
Jika Gubernur Syamsuar berharap dengan dana program adopsi pohon ini, hutan PS akan terlindungi, ini jelas tidak akan berhasil. Melawan pembalakan liar dengan dana tak seberapa itu dan apalagi jika dilakukan oleh masyarakat, maka akan berhadapan dengan para cukong yang berada di balik operasi ilog itu.
Sebenarnya cukuplah mudah bagi pemerintah daerah untuk membantu para pengelola hutan PS yakni memberikan dukungan pengawasan dan penegakan hukum, program ekonomi alternatif dari hasil hutan non kayu dan asistensi pemberdayaan dan kapasitas. Alih-alih membuat program adopsi pohon yang bisa digunakan perusahaan sawit dan hutan industri sebagai kampanye green washing mereka.
Apalagi jika Gubernur berpikir bahwa hutan Riau bisa terselamatkan dengan program adopsi pohon, tentu ibaratnya masih jauh panggang dari api. Karena masalahnya jauh lebih kompleks.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan, bahwa tutupan hutan Riau sejak 2012 hingga 2019 telah hilang seluas 781.941,84 hektare. Pada 2019 tersisa 8.964.880,21 hektare yang mencakup kawasan hutan lindung, hutan produksi konversi, areal penggunaan lain. Analisis data Pantau Gambut juga menyebutkan tutupan hutan gambut Riau menyusut 301.897,92 hektare dalam kurun 2011 hingga 2019. Kini, luas itu hanya 3.867.400,84 hektare.
Sementara kerusakan hutan baik di mineral maupun gambut justru banyak terjadi di areal konsesi milik perusahaan besar. Memperbaiki hutan di areal PS tak akan banyak memberi dampak jika Gubernur Syamsuar membiarkan tanggung jawab perusahaan dalam menjaga konsesinya dari kebakaran hutan akibat pengeringan dan ekspansi perkebunan. Sebab data peringatan titik api menunjukkan angka 47% kebakaran berada di konsesi serat kayu pada tahun 2016 dan ini terus berulang pada musim kering. ***
Penulis adalah Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau dan Direktur Kaliptra Andalas