Oleh: Triandi Bimankalid S.H.,M.H
Katakata.id – Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi menuai sensasi. Episode kali ini diilhami dari Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam Pokok Perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Main Pointnya ialah MK mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun dan cenderung akan langsung diejawantahkan kepada Pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat.
Putusan tersebut diajukan pada akhir November 2022 dan diputus hanya enam bulan setelahnya. Putusan keluar saat panitia seleksi pemilihan pimpinan KPK yang seharusnya diganti pada Desember 2023 sedang dipersiapkan pemerintah.
Secara Konteks Kelembagaan, Mahkamah Konstitusi sudah mulai mendekatkan dirinya sebagai Lembaga Legislatif baru dalam rumpun kekuasaan Negara (Positive Legislator) dengan masuk keranah Politik Hukum Kebijakan, dengan membuat Putusan yang tidak ada urgensinya dengan Frasa Inkonstitusional jika disandarkan kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Batu Uji Kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Persamaan Kedudukan berdasarkan periodesasi : Asumsi Belaka
Dilihat dari segi latar belakang pembentukan KPK serta desain lembaganya, pengaturan kelembagaan KPK merupakan wewenang pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang berwenang menerjemahkan kebutuhan masyarakat dan memotret dinamika permasalahan yang ada sehingga dapat menilai relevansi kelembagaan KPK sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan independensi dari KPK. Meskipun telah jelas bahwa KPK bagian dari rumpun eksekutif, namun Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Adapun Alasan yang mengutarakan bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang lebih singkat dibandingkan dengan beberapa lembaga non kementerian lain berdampak pada munculnya anggapan bahwa kedudukan KPK lebih rendah dibanding dengan lembaga non kementerian lainnya merupakan asumsi belaka, Padahal karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitannya dengan masa jabatan pimpinan. Terlebih lagi, berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga, telah ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya. Misalnya, Pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 (empat) tahun; Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; Masa jabatan anggota KPPU adalah 5 (lima) tahun; masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 (lima) tahun; Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun; dan Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun.
Ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Argumentasi perubahan periodisasi masa jabatan pimpinan KPK selayaknya dikaitkan dengan desain kelembagaan, bukan berkenaan dengan ketidakadilan atau perlakuan yang tidak sama antara masa jabatan satu pimpinan lembaga negara dengan masa jabatan pimpinan lembaga negara lainnya.
Sejatinya Persamaan di hadapan hukum bukan berarti mendudukan semua hal dalam posisi yang sama tanpa adanya perbedaan, melainkan memberikan perlakuan yang sama bagi siapapun di hadapan hukum.
Mengutip Pendapat Prof. Soedirman Kartohadiprodjo bahwa menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan sesuatu yang sama. Demikian dengan pernyataan Laica Marzuki yang menyatakan bahwa ketidakadilan bukan hanya membedakan dua hal yang sama tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda.
MK akan tersandera dengan Open Legal Policy Serupa
Jika ditelisik secara serius, Mahkamah Konstitusi sendiri sudah sangat memahami pembedaan antara isu konstitusional dan isu politik hukum kewenangan pembuat undang-undang dengan menamai jenis persoalan itu sebagai ‘kebijakan hukum terbuka atau ‘open legal policy’. Jika Mahkamah Konstitusi mengurusi soal ini, ia sudah mengambil peran sebagai pembuat undang-undang. Apakah suatu ketentuan dalam undang-undang ialah kebijakan hukum terbuka memang suatu hal yang selalu bisa diperdebatkan. Namun, Sangat jelas bahwa masa jabatan ialah keputusan politik yang bukan isu konstitusional.
Maka dengan Mahkamah Konstitusi Memberikan Putusan yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. Dalam kondisi demikian, Mahkamah Konstitusi akan benar-benar resmi menjadi Kekuasaan Legislatif baru (Positive Legislator) yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya.(***)
Penulis merupakan Direktur Utama Independen Demokrasi (IDE)