Oleh : Dahlan Iskan
Katakata.id – DARI pembukaannya saja saya langsung tahu: ini tulisan penyair terkemuka dari Riau, Prof Yusmar Yusuf. Yang ditulis ketika ia kehilangan sahabat baiknya: Datuk Seri Al Azhar. Perhatikanlah pembukaan tulisan Prof Yusmar ini, betapa ia merasa kehilangan:
”Bergurau dalam canda yang merisau. Ketiadaan adalah keadaan yang melingkar. Seraya menjalani ketiadaan sepanjang malam, tidur, saya bangun dengan sejumlah pesan masuk tentang ketiadaan.
Sobat saya Azhar ’terbang ke langit’ selamanya. Lalu, saya terduduk, diam dan menggenang air mata di antara dua pelupuk. Gelombang kedua, ketiadaan: saya kehabisan kata”.
Datuk Seri Al Azhar meninggal di usia 60 tahun. Selasa kemarin. Hanya beberapa hari setelah almarhum menjalani operasi empedu di RS Awal Bros di Pekanbaru.
Al Azhar adalah tokoh Melayu yang paling Melayu. Ia pembela budaya Melayu paling depan. Di akhir zaman Orde Baru, ia tergabung dalam gerakan Riau Merdeka. Bersama Tabrani Rab. Mereka, ketika itu, begitu kecewa atas perlakuan pusat ke daerah seperti Riau: kaya minyak, tapi penduduknya begitu miskin. Salah satu yang termiskin di Indonesia.
Berhasil. Bagi hasil 15 persen untuk daerah penghasil minyak dan gas adalah buah perjuangan mereka. Yang sekarang ikut dinikmati daerah seperti Bojonegoro dan Blora.
Belakangan gerakan Riau Merdeka itu melunak menjadi Riau Berdaulat. Memang gerakan Riau Merdeka tidak sama dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tidak sampai angkat senjata. Tapi, orang seperti Tabrani Rab dan Al Azhar memang lantang memperjuangkannya.
Termasuk ketika Riau kemudian juga menjadi pusat kelapa sawit Indonesia. Berjuta-juta hektare tanah Riau berubah menjadi perkebunan sawit. Yang dimiliki konglomerat dari luar daerah. Maka, Gerakan Riau Berdaulat sangat kritis menyoroti perizinan sawit. Mereka mengungkap ada 1,8 juta hektare kebun sawit yang perizinannya tidak beres. Mereka menganggap itu kebun ilegal. Harus dikembalikan kepada rakyat Riau.
Al Azhar belakangan terpilih sebagai ketua lembaga adat Melayu di Riau. Ia-lah presiden Melayu sedunia. Istilah resminya: Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Melayu/Lembaga Adat Melayu Riau.
Tabrani Rab, Yusmar Yusuf, Al Azhar, Dr Chaidir, dan Ny Azlaini Agus adalah tokoh-tokoh pembela Melayu yang utama. Baru Tenas Effendy tokoh sekelas mereka yang meninggal dunia. Ditambah Al Azhar Selasa malam kemarin.
Mereka itu boleh dibilang tokoh Melayu modern. Al Azhar sendiri memperoleh gelar S-2 di Belanda. Ia memperdalam filologi Melayu di Leiden.
Penyair Melayu terkemuka Rida K. Liamsi –nama aslinya bisa Anda baca dari belakang– pinter menjelaskan di mana perbedaan tokoh Melayu baru dan lama.
”Melayu baru lebih memilih sikap mengamuk. Melayu lama lebih memilih sikap merajuk,” ujar Rida yang kumpulan puisinya tak terhingga lagi.
Gerakan Riau Merdeka adalah bentuk amuk mereka. Yang ketika berhasil, ya sudah. Tidak mau lagi mereka merdeka. Berubah menjadi cukup berdaulat. Berdaulat itulah yang kini menjadi fokus perjuangan mereka.
”Apakah ada contoh sikap merajuk di masa lalu?” tanya saya kepada Rida.
”Ada. Merajuk adalah menghindari kekuasaan, menyingkir dan menjauh,” jawabnya. Contohnya, menjadi suku Sakai yang terasing pedalaman. Atau menjadi suku Kedayan yang memilih hidup di atas laut.
Yang unik, semua pejuang itu adalah sastrawan dan budayawan. Artinya: mereka juga intelektual. Hanya penyair terkemuka seperti Sutardji Calzoum Bachri yang tidak terlihat masuk ke gerakan sosial seperti itu.
Al Azhar sendiri tidak pernah masuk ke arena politik. Ia menjadi dosen di Universitas Islam Riau dan Universitas Lancang Kuning. ”Beliau sangat visioner. Jadi acuan Melayu sampai semenanjung,” ujar Rida.
”Istilah di sini beliau itu jadi pancang nibung,” ujar Rida kemarin. Maksudnya, orang seperti Azhar itu menjadi tempat bertanya dan mengadu.
Tentu Al Azhar tidak akan diam ketika budaya Melayu diusik orang. Pun kalau yang mengusik itu tokoh besar seperti menteri agama yang sekarang. Yakni, ketika Menag mengatakan Riau adalah pusat ekstremis.
Al Azhar memang membela habis-habisan Ustad Abdul Somad (UAS). Keduanya sekampung di Rokan Hulu, Riau. UAS pun bersedih mendengar Al Azhar meninggal. UAS sedang di Aceh. Dari Aceh, UAS merekam doa di HP-nya. Dikirim ke Pekanbaru. Untuk diperdengarkan di telinga Azhar yang lagi kritis di rumah sakit.
Doa itulah yang mengantarkan Al Azhar ke alam baka. Dari Aceh, UAS langsung menulis puisi:
”Engkau bela aku saat lara mendera.
Engkau tabalkan Datuk Seri Ulama Setia Negara untuk membantah fitnah dan huru-hara.
Engkau tak pernah minta balas jasa.
Berita sakit pun tak sampai ke telinga.
Saat aku jauh di seberang Sumatera. Datang kabar mengharukan jiwa.
Sempat terkirim Al-Fatihah dan doa. Rupa-rupanya itu pengiring Datuk pergi selamanya. Adapun silap, salah, dan lupa.
Tiada manusia lepas darinya. Biarlah Allah Azza wa Jalla menghapus dan mengganti dengan balasan mulia”.
Tentu tokoh seperti Azhar juga tidak bisa menerima pandangan Barat mengenai tipologi Melayu yang negatif. Yang secara telak diwujudkan dalam satu judul buku: Slow Boat from Malay.
Menurut Azhar, itu cara penjajah untuk menyudutkan Melayu. ”Bagaimana bisa bodoh dan lamban ketika Melayu bisa menciptakan bahasa yang begitu hebat. Yang bisa menyatukan bangsa Indonesia. Dan bisa menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara,” kutip Rida dari pendapat Azhar.
Saya juga terus membaca artikel Prof Yusmar:
”Kami berdua bak tangkai bunga yang menjulur dari lelangit Riau. Angkatan awal, 80-an, yang membina kesadaran Melayu (Malay conscience) lewat dialog-dialog kebudayaan serantau dan dunia kepenulisan.
Antara saya dan Azhar, tersalin sejumlah peristiwa ’datang dan pergi’ demi Malay thought (Melayu secara pemikiran/pemikiran Melayu) di ranah gugah dan ranah senyap. Dan saling melengkapi”.
Yusmar dan Azhar memang bebatang setangkai. Mereka adalah tangan kanan dan kiri tubuh Melayu. Nama keduanya selalu diucap beriring pun sampai nun di semenanjung. Dan juga di Jakarta. ”Betawi punya apa. Riau punya dua tembok budaya Melayu yang kukuh,” ujar Ridwan Saidi suatu ketika.
Belakangan dua setangkai itu mencari jalan berbeda. Tanpa berseberangan. ”Biarlah engkau tetap di jalur riuh, saya akan menjalani jalan sepi ini,” tulis Yusmar. Yang terakhir itu lantas masuk ke dunia tasawuf yang suwung. Ia keluar dari gemuruh perjuangan adat Melayu. Tapi, tetap saja Selasa malam itu Yusmar merasa kehilangan salah satu lengannya.
”Selamat jalan sobat ’lengan ku’… menyatulah dalam kilau komet cahaya yang melintas di pucuk ruang sebelah sana…”.***