Dromologi dan Realitas Konsumsi Masyarakat Modern Kontemporer

Oleh: Budi Darmawan

Katakata.id – Fenomena modernisasi yang terjadi sekarang ini tidak hanya berpengaruh pada aspek teknologi saja, akan tetapi juga berimplikasi pada segala sendi kehidupan manusia seperti politik, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama. Seperti yang telah kita rasakan bersama, bahwa wajah peradaban manusia saat ini mulai menunjukkan suatu perubahan yang sangat besar.

Hal ini didorong dengan laju perkembangan teknologi informasi yang telah bertransformasi ke arah digitalisasi. Sejak ditemukannya internet pada pertengahan abad ke-20, peradaban manusia terus mengalami perubahan yang sangat cepat. Perubahan yang terjadi telah menyentuh berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk cara manusia berkonsumsi.

Pergeseran perilaku konsumsi manusia sekarang seakan tidak lagi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, akan tetapi didasarkan pada keinginan untuk memperoleh tantangan, kesenangan, kegembiraan, prestise, menghilangkan kejenuhan, membentuk status sosial, bahkan menjadi gaya hidup dikalangan masyarakat dalam kegiatan aktivitas sehari-hari.

Perilaku konsumsi yang demikian saat ini, tak heran menjadikan masyarakat sekarang semakin kian konsumtif. Tindakan konsumtif yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini cenderung melakukan konsumsi tiada batas, sehingga sering terlihat masyarakat membeli barang bukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan, namun lebih sebagai pemenuhan hasrat atau keinginan.

Seringkali kita melihat, bahwa realitas konsumsi masyarakat sekarang lebih suka membeli ”merek”, daripada manfaat atau kegunaan barang yang dibelinya. Tanpa disadari, bahwa merek tersebut dapat membawa ataupun membentuk status sosial bagi orang yang mengonsumsinya. Adapun makna konsumsi seperti yang kita ketahui adalah sebagai sebuah proses pemenuhan kebutuhan pokok manusia.

Akan tetapi, makna tersebut telah bergeser sehingga konsumsi menjadi sarana untuk mengekspresikan posisi seseorang dan identitas kultural seseorang di dalam masyarakat. Lebih dari itu, menurut Paul Virilio seorang filsuf asal Perancis mengatakan bahwa masyarakat saat ini tidak lagi ditandai dengan nilai konsumsinya, akan tetapi tentang percepatan dalam konsumsinya. Istilah tersebut dinamainya sebagai ”Dromologi”.

 Tentang Dromologi Paul Virilio

Dromologi merupakan konsep yang digagas oleh seorang filsuf, arsitek, dan teoritikus kebudayaan bernama Paul Virilio. Dromologi berasal dari bahasa Yunani, dromos yang artinya balapan atau perlombaan adu cepat, dan logos yang artinya semesta pengetahuan.

Secara sederhana, Dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan. Teori ini berhubungan dengan proses kecepatan dalam berbagai bidang seperti informasi, transportasi, ekonomi, digitalisasi, dan hal-hal lain yang didasarkan pada teknologi. Ia menilai, perkembangan alat-alat teknologi komunikasi dan informasi canggih zaman modern ini melahirkan suatu percepatan di dalam masyarakat.

Paul Virilio membagi empat asumsi dasar dalam dromologi. Pertama dromologi menuntut manusia untuk menjadi yang tercepat, pertama, dan terdepan. Dalam kecepatan tersebut, seseorang dipaksa untuk mencari informasi mengenai segala hal secara terus-menerus. Dampaknya, manusia acap kali merasa takut ketinggalan informasi ataupun segala hal yang baru jika tidak memantau setiap pembaharuan tersebut.

Karena ketergesahan itulah, sering kali seseorang tidak mampu membedakan mana informasi yang hoaks, dan mana informasi yang benar. Begitupun dalam membeli produk, seseorang mudah sekali tertipu dengan mendapatkan produk tiruan.

Kedua siapa cepat dia menang, dan siapa menang dia berkuasa. Cara berpikir manusia modern saat ini selalu berfokus tentang kecepatan, sehingga apa yang lebih dulu kita miliki daripada orang lain, di sanalah kita merasa unggul. Dalam logika tersebut, sering kali kita melihat masyarakat rela mengantri panjang ketika mendapati restoran yang baru saja dibuka, ataupun film yang baru release di bioskop.

Realitas seperti ini sering kita saksikan di tengah masyarakat kita, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu di mana McDonald’s diserbu akibat menu BTS Meal-nya. Begitu pula film Avengers Endgame, masyarakat seakan tak mau ketinggalan. Mereka menyerbu tiket nonton di hari perdana penayangannya.

Ketiga, dalam asumsi dasar dromologi, manusia tidak boleh diam. Sebab diam berarti mati, tergilas oleh percepatan. Hal ini tentu sedikit banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Acapkali kita menyaksikan kebanyakan orang yang sulit untuk lepas dan jauh dari gadget-nya. Tindakan tersebut menandai bahwa masyarakat saat ini berlomba-lomba untuk mencari informasi terbaru, ataupun produk yang baru saja dipasarkan. Realitas seperti ini menunjukkan seakan masyarakat tidak mau ketinggalan informasi atau produk terbaru untuk dikonsumsi.

Asumsi yang Keempat, kecepatan sebagai dasar berpikir dan pengambilan keputusan. Hal ini menandai bahwa prinsip kecepatan seakan menjadi pijakan berpikir dan penentuan keputusan dalam masyarakat. Jika terdapat hal yang tampaknya lambat, dapat dikatakan ini tidak dianggap sebagai dasar berpikir dan keputusan.

Keempat asumsi dromologi Paul Virilio tersebut perlu menjadi perhatian dan tidak bisa kita anggap sepele. Sebab jika kita mengaitkannya dengan realitas sekarang, bahwa masyarakat hari ini bisa dikatakan sebagai masyarakat tontonan terlebih di era media sosial sekarag ini. Dalam arti, seseorang yang berinteraksi dalam masyarakat tersebut disibukan dengan mempertontonkan simbol. Mempertontonkan simbol di sini lebih mengacu pada kegiatan yang lebih mementingkan brand suatu komoditas ketimbang nilai guna dari komoditas itu sendiri.

Dengan adanya masyarakat tontonan, ditambah adanya prinsip dromologi ini, memaksa kita untuk terus memacu diri dalam membeli produk-produk branded. Dan lebih jauhnya hal ini dapat menyebabkan gejala piknolepsi, yaitu kondisi dimana manusia mengalami kepusingan dan depresi.

Hal ini diakibatkan manusia larut dalam kecepatan dan percepatan perubahan, hingga penumpukan dan tingginya frekuensi kemunculan citra dan kombinasi ketakterdugaan dan kejutan-kejutan. Kondisi ini juga bisa mengakibatkan kepanikan, ketika kondisi mental yang ditandai oleh ketakutan tanpa alasan yang menyebabkan seseorang berlari atau melakukan tindakan cepat yang sering tanpa arah.

Tidak bisa kita pungkiri, bahwa teknologi sekarang telah mengakar hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat hari ini. Tentu dalam menyikapinya, jangan sampai teknologi membentuk kita ke arah perubahan yang dapat membuat mental kita menjadi buruk. Masyarakat harus lebih pandai dan bijak dalam melihat realitas. Bila perlu mengambil jarak dan berhenti sesaat supaya tidak tenggelam dan larut dalam nalar yang serba cepat.(***)

Penulis adalah Dosen Sosiologi FISIP Universitas Bangka Belitung

Related posts