Oleh: Achmad Nur Hidayat
Katakata.id – Menjelang akhir tahun 2021, publik dikejutkan dengan harga sembako yang melonjak. Secara rata-rata kenaikan sembako akhir tahun 2021 ini sekitar 0,55 persen dibandingkan bulan kemarin. Lebih tinggi dari prediksi BI yang mencapai naik 0.49 persen (mom) pada Desember 2021. Kenaikan parah terjadi pada harga cabe, telur ayam, daging dan minyak goreng.
Berdasarkan informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), kenaikan terjadi pada harga daging, ayam, telur, gula dan yang paling naik adalah cabe. Cabe rawit merah melonjak sampai 130,97% dalam sebulan menjadi Rp86,500/kg, cabe rawit hijau melesat 54,71% menjadi Rp57,400/kg. Harga minyak goreng naik 7,43%, harga gula naik 0.76%, daging ayam segar naik 1,42%, harga telur ayam naik 3,56%.
Faktor musim menjadi alasan yang disalahkan, sebut saja misalnya faktor curah hujan menjadi menyebab karena tanaman cabai terlalu basah dan produksi tersendat, faktor Elnina juga menjadi penyebab hasil pertanian dan peternakan banyak mengalami kegagalan. Selain faktor produksi, faktor permintaan menjelang akhir tahun juga dianggap sebagai penyebabnya.
Musim hujan diprediksi belum berakhir sampai Maret 2022 artinya kenaikan sembako diprediksi terus berlanjut meski perayaan akhir tahun usai. Selain sembako, harga elpiji non subsidi juga mengalami kenaikan. Data menunjukkan kenaikan elpiji non subsidi menyebabkan masyarakat pindah ke gas melon atau elpiji bersubsidi. Kenaikan elpiji non subsidi disebabkan karena peningkatan harga pada contact price (aramco) CPA LPG yang naik. Kenaikannya sebesar Rp1.600 sampai Rp2.600 per kilogram. Elpiji subsidi 3 kg kemarin sudah mencapai 92,5% dari total konsumsi LPG, karena kenaikan elpiji non subsidi bisa jadi porsi menjadi 94,5%. Dengan begitu beban subsidi LPG makin berat.
Supaya tidak memberatkan masyarakat bawah, sebenarnya kenaikan harga sembako dibisa diimbangi dengan penyaluran dana bansos yang baik. Namun, penyaluran bansos oleh kemensos memiliki masalah dasar diantaranya adalah data penerima bansos (DTKS-Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) tidak sepenuhnya valid. Masalah lain keberadaan mitra penyaluran bansos tidak merata di sejumlah temapt sehingga pembagian tidak merata ke wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T) selain itu alur pendaftaran yang rumit dan cenderung berlarut menyebabkan mereka yang paling bawah tidak memiliki kesempatan yang sama, belum lagi unit pengelolaan pengaduan Kemensos belum optimal. Masalah tersebut juga dilaporkan oleh Ombudsman saat meneliti penyaluran bansos saat ini.
Meski demikian, masyarakat bawah tetap beruntung memiliki Bansos. Bagaimana masyarakat menengah? Ini dia kelompok yang paling menderita dari kenaikan harga akhir tahun ini. Mereka termasuk kelompok pekerja yang gajinya mengikuti gaji minimum regional. Mungkin pekerja Jakarta beruntung karena mengalami kenaikan 5,1 persen menjadi Rp4,64 juta. Daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat tidak seberuntung DKI Jakarta, mereka harus merencanakan pengeluaran yang lebih hemat lagi padahal mereka sudah sangat berhemat. Sebagian besarnya akan masuk ke masyarakat yang butuh Bansos namun sayang update Bansos tidak sebaik di atas kertas, mereka termasuk kelompok yang membutuhkan intervensi negara.
Intervensi negara diharapkan berada di bawah koordinasi Kementerian Perdagangan RI. Menteri Lutfi bisa menginisiasi operasi pasar sembako murah di pemukiman para pekerja menengah tersebut. Bulog dan Kementerian Perdagangan RI harus kolaborasi melakukan intervensi harga bekerja sama dengan para kepala daerah untuk memetakan warga yang paling terdampak dari kenaikan harga tersebut.
Kementerian Perdagangan jangan cepat mengambil kebijakan impor saat harga naik, namun perlu berpihak seperti saat ini dengan intervensi pasar segera mungkin. Bila tidak kenaikan harga tersebut akan disertai jatuhnya kesejahteraan rakyat lebih dalam lagi yang diiringi dengan ketidakstabilan ekonomi, sosial dan budaya. (***)
Penulis merupakan pakar kebijakan publik asal universitas Indonesia