Katakata.id – Data Kemenkominfo menjelaskan di Indonesia, pengguna internet mencapai 150 juta jiwa dengan penetrasi 56% yang tersebar di seluruh wilayah. Jumlah tersebut hanya selisih sedikit dengan jumlah pengguna internet mobile yang berjumlah 142.8 juta jiwa dengan persentase penetrasi sebesar 53%. Kehadiran media baru dalam ruang demokrasi tentu sangat membuat interkoneksi, interaktivitas dan keterbukaan akses dalam kanal partisipasi menjadi lebih luas. Kehadiran media baru ini kemudian akan menjadi sebuah arus demokrasi menjadi lebih memiliki variasi dan kompleksitas dalam kegiatannya. Selain kemudahan dan keterbukaan dalam menyampaikan informasi menjadi lebih mudah maka seiring itu pula mengubah cara masyarakat berpartisipasi dalam ruang demokrasi dan ruang publik dalam menyampaikan kehendak politiknya.
Pemilihan umum serentak menyongsong waktu pemilihan pada 14 februari 2024, tentunya tahapan sudah memasuki fase nya. Ruang opini dan isu isu politik sudah mulai menghangat, perbincangan terkait arah koalisi dan dinamika pergerakan partai politik sudah menghiasi kolom kolom dimedia sosial dan perbincangan di dalamnya. Dengan dimulainya tahapan pemilu maka upaya membuat kanal demokrasi menjadi kondusif butuh kesadaran dan kecerdasan memahami dan mengonsumsi informasi dengan baik agar ruang publik menjelang pemilu 2024 tidak berpotensi membuat gesekan dan kerentanan politik atau bahkan akan menimbulkan ketegangan sosial atau bahkan konflik terbuka.
Maka butuh kecerdasan bagi kita semua sebagai bagian dalam ruang demokrasi harus memiliki kebijaksanaan dalam mengelola informasi yang masuk sehingga setidaknya memahami dan mampu mengontrol diri secara personal terkait munculnya berita bohong (hoaks), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speechs) yang dengan mudah diproduksi dalam media digital.
Teori politik menegaskan ada 4 pilar yang menopang demokrasi, yaitu: negara, pasar, masyarakat sipil dan media termasuk media baru yang berbasis internet. Namun pada faktanya menunjukkan bahwa aplikasi teori tidak selamanya berjalan lancar. Kehadiran media tidak selamanya menjadi pendorong yang produktif dalam memperlancar proses demokrasi namun boleh jadi itu yang menimbulkan persoalan-persoalan teknis komunikasi dan problem-problem politis.
Melihat pada perkembangan hoaks di Indonesia, hoaks muncul dalam kondisi yang diwarnai ketidakpercayaan publik. Kemudian ada dua motif yang mendasari hoaks menjadi lebih mudah berkembang biak yakni motif ekonomi dan motif politik. Motif ekonomi mendorong produksi kebencian di media sosial ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sedangkan politik diproduksi berdasarkan ideologi dan berupaya untuk mempolitisasi kebencian.
Keadaan pemilu 2024 akan menjadi lebih kompleks dari pemilu terdahulu dengan segala macam dinamika dan kompleksitas di dalamnya, dengan beberapa isu yang cukup sensitif yakni isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), yang secara sadar atau tidak kelompok berkepentingan berusaha menyetir isu isu tersebut demi kebutuhan dan kepentingannya tanpa memikirkan dampak negatif dalam pertumbuhan demokrasi.
Simbol Politik Dan Misinformasi
Dalam perkembangbiakan hoaks di tengah arus informasi hari ini dipengaruhi beberapa sebab yakni salah satunya penggunaan dan penyalahgunaan simbol-simbol politik sebagai wacana kepentingan politik, sehingga masyarakat secara luas tidak lagi memperhatikan fakta-fakta dan substansi informasi secara lebih objektif. Memasuki musim kampanye mendatang produksi akan simbol marak digunakan untuk memanipulasi massa dan memobilisasi massa. Simbol yang dimaksud dalam upaya mengamplifikasi hoaks dapat berupa ‘bahasa’ penggunaan diksi tertentu mampu memframing politik menjadi sangat menakutkan jika bahasa yang dimaksud dapat membangkitkan emosi dan reaksi secara subjektif. Penggunaan simbol dalam realitanya digunakan untuk membenarkan gagasan atau logika dalam upya memanipulasi wacana politik maupun opini publik terhadap sebuah isu.
Pelajaran dari kontestasi terdahulu pada pemilu 2019 membuat banyak koreksi dalam upaya mengontrol arus informasi serta demokrasi yang lebih subtansial berbabis evidence (bukti dan fakta) sehingga upaya mengontrol simbol politik harus naratif pada isu dan gagasan yang positif. Pekerjaan rumah hari ini dalam upaya memahami informasi harus juga dibendung dengan upaya peningkatan literasi dan pengetahuan bagi para konstituen politik menjelang pemilu 2024 dilaksanakan. Selain itu tantangan pemilu di era pandemi ini kemudian sangat berpengaruh pada ruang interaksi baik sosial dan politik yang mau tidak mau akan lebih banyak memanfaatkan ruang digital.
Permasalahan disinformasi pada dasarnya adalah persoalan yang kita semua hadapi, infomasi yang tidak benar banyak sekali mengisi ruang-ruang dalam kanal media sosial yang hari ini hampir setiap hari menjadi konsumsi yang dengan mudah diakses oleh mayarakat kita. Memahami isu dengan baik setidaknya menjadi saringan awal bagi kita semua untuk mencoba menjauhkan pengetahuan kita dari disinformasi, maka butuh menelaah kembali apa pun informasi yang kita dapatkan dan memilih serta memilah terlebih dahulu sebelum kemudian menyebarluaskan kembali informasi yang sudah benar faktanya.
Pembelahan politik pada pergerakannya mengalami pergeseran baik itu dengan dalam konten dan konteks percakapan, masyarakat yang konservatif lebih mudah tersulut dengan isu-isu SARA yang memang dengan mudah membakar kemarahan publik, sedangkan masyarakat modern yang memahami pengetahuan dengan konteks yang substansi akan lebih selektif dan memudahkannya mengeleminiasi informasi dengan baik.
Tawaran Solusi
Dalam upaya mengontrol informasi yang relevan pada konten publik maka pemerintah harus tegas mengawal arus demokrasi yang sehat pada ruang informasi yang juga sehat. Salah satunya adalah dengan memperkuat ruang regulasi dan produk hukum, dalam konteks penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu benar-benar harus menyediakan panggung demokrasi secara adil dan transparan. Produk hukum tidak juga bisa dikolaborasikan dengan lembaga kementerian terkait yakni Menkominfo dalam merancang arus informasi yang kondusif bagi musim Pemilu mendatang.
Aturan main dalam Pemilu bisa benar-benar dirancang dan disosialisasikan untuk tidak dengan mudah dibawa dan digiring pada ranah yang rentan pada isu hoaks. Penyediaan produk hukum juga harus dibarengi dengan penguatan sanksi yang juga membuat siapa saja yang berkepentingan dalam memanfaatkan hoaks sebagai media meraup ekonomi dan dukungan politik akan mempertimbangkan hal tersebut sebelum mengambil langkah dan pilihan negatif tersebut.
Membangun kerjasama dengan penyedia jasa media sosial bisa menjadi langkah yang juga perlu pemerintah perhatikan, salah satunya membangun kerja sama dengan pihak penyedia jasa dengan demikian konten dan konteks informasi bisa lebih awal dikontrol sejak dini. Penyedia jasa bisa kemudian melakukan traking data dan kata yang digunakan sebagai simbol politik dan narasi yang negatif. Sehingga kemunculan informasi yang bersifat sara dapat diminimalisir. Penyedia jasa media sosial sejauh ini hanya menyediakan platform tanpa memiliki tanggung jawab terhadap informasi yang mereka sajikan di dalam media yang mereka miliki.
Selain itu kesadaran sosial serta literasi publik pada akhirnya menjadi kunci utama dalam menangkal hoaks sehingga apa pun jenis informasi yang diterima mampu dieleminasi dengan baik. Konten pemilu harus benar-benar diwarnai dengan gagasan dan opini yang membangun.(***)
Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung