Oleh: Triandi Bimankalid SH MH
Tarik Menarik Presidential Threshold
Katakata.id – Masalah ambang batas presiden merupakan masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi pada masa yang akan datang. Berbicara tentang Presidential Threshold (PT) ini mau tidak mau membawa kita dalam rumpun kajian Politik Kepentingan, karena jika PT yang berlaku pada Hari ini yakni yang diatur pada UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”
Melihat angka ambang batas yang fantastis tentu akan menguntungkan Partai Politik yang mempunyai Jumlah kursi yang besar di DPR, wajar ketika melihat reaksi pembahasan Presidential Threshold ini akan ada dua respons yakni Mempertahankan (Partai yang memiliki Jumlah Kursi Banyak) dan menolak Threshold (Partai yang memiliki jumlah Kursi Sedikit). Kehadiran PT ini tentu menjadi “Jalan Mulus” bagi Partai yang saat ini memiliki jumlah kursi besar itu untuk mengorbitkan Kadernya menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden di tahun 2024 Nanti, Secara Proses, “sudah menang satu langkah” dibanding Partai Lain yang mesti harus berkoalisi dan melakukan Transaksi Penunjukan Presiden dan Wakil Presiden dari Koalisi Tersebut. Namun bukan berarti kita terlena dengan Partai Politik yang menolak Threshold ini dikarenakan memperjuangkan aspirasi rakyat seutuhnya, karena masih ada celah kemungkinan bahwa ini juga termasuk kepentingan untuk mengejar satu langkah atau merusak “Jalan Mulus” tersebut.
Banyak pihak menginginkan agar peraturan tentang presidential threshold direvisi agar peserta pemilihan presiden lebih beragam latar belakangnya, tidak hanya berasal dari partai-partai besar saja. Bahkan Jika kita ilustrasikan, Konsep Presidential Threshold saat ini akan mendorong oligarki Kekuasaan tumbuh subur, mereka akan memborong semua kekuatan sosial politik, Misalnya sekarang istana menguasai 82% kursi parlemen yang lolos parlemen threshold maka tidak ada calon lain jikalau koalisi di Istana tetap kompak. Dan kemungkinan dua calon lagi tidak terelakkan seperti sebelum-sebelumnya. Calon yang diinginkan oleh Rakyat selaku pemegang Kedaulatan akan terpendam dengan hitung-hitungan ambang batas Threshold tersebut.
Presidential Threshold tidak diatur didalam Konstitusi
Pasal 6A Ayat (2) berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Jadi yang diatur secara tegas dalam UUD 1945 yaitu ambang batas bagi seorang calon presiden dan wakil presiden dapat terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 6A Ayat (3). Pasal tersebut menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Inilah yang tidak terbedakan oleh pembentuk Undang-undang (Presiden dan DPR).
“Bahkan ketika Pasal 222 UU 7/2017 disandingkan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD, MK bergeming, tetap dalam posisi menyatakan bahwa itu “open legal legacy”. Padahal Secara Tupoksi dan Kewenangan MK ialah sebagai Penjaga Kemurnian Konstitusi (Guardian of Constitution), yakni dapat membatalkan suatu aturan perundang-undangan (Inkonstitusional). konstitusi tidak ada memerintahkan untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan pasangan capres dan cawapres.
Presidential Threshold Tidak Relevan
Dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Selain memberi ambang batas yang tolak ukur dan standarisasinya tidak dapat ditelaah dan diukur, di pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi yang lama, Atau periode 5 tahun sebelumnya. Ini adalah poin paling telak mengapa Pengaturan Presidential Threshold mesti dihapuskan, karena tidak mungkin menjadikan data atau basis hasil suara pemilih yang terjadi 5 tahun lalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan aturan main Pemilu saat ini. Secara Mobilisasi suara, tidak ada yang bisa menjamin apakah Pemilih yang memilih di 5 tahun sebelumnya masih memilih/menghendaki hal yang sama, tentunya tidak sesuai dengan cerminan kedaulatan rakyat dalam menentukan Calon Pemimpin yang didukung suara Rakyat.
Dengan aturan yang ada, hanya PDIP yang punya tiket emas di Pilpres 2024. Partai Banteng bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa perlu membentuk koalisi. Pasalnya, PDIP memiliki 128 kursi di DPR RI, melampaui ambang batas 20 persen. Dengan aturan yang sama pula, sejumlah partai baru tidak bisa mengusung capres dan cawapres. Mereka hanya bisa memberi dukungan, tidak bisa mengusung.
Makin sedikit kandidat yang bertarung, akan makin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik. Setiap partai politik pasti bertujuan mengusung kadernya untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Karena memang itulah hakikat lahirnya partai politik untuk mengusung kadernya sebagai pemimpin nasional. Faktanya, dengan adanya presidential threshold partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20%, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar, terkait keputusan tentang calon yang akan diusung. Pilihannya hanya satu: Merapat atau bergabung.
Apakah MK berwenang menghapus Presidential Threshold?
MK tentu saja sangat berwenang menghapuskannya sebagai satu-satunya lembaga yang ditugaskan untuk mengawal UUD 1945, agar betul-betul diterapkan dalam pembentukan UU PT 20 persen tidak diatur di dalam undang-undang Dasar (UUD) 1945. Justru, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak menyebut pembatasan dalam pencalonan presiden. tetapi, setiap partai politik dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Jadi secara konstitusional keberadaan ambang batas pencalonan presiden 20 persen itu tidak dibenarkan keberadaannya. Kondisi faktual pada Pilpres 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan adanya polarisasi politik yang kuat, dapat menjadi alasan MK untuk memutuskan bahwa ambang batas presiden tidak relevan lagi. Belum lagi ambang batas presiden 20 persen berpotensi melahirkan politik transaksional yang menyebabkan Biaya Politik sangat tinggi, yang melahirkan Perbuatan Korupsi. Maka membatalkan aturan Presidential Threshold (Bukan menjadikannya 0%) tujuannya demi pemilu yang lebih adil (bagi seluruh Partai Politik), mencegah jual beli kandidasi, dan perbaikan Demokrasi. (***)
Penulis merupakan Direktur Utama Independen Demokrasi (IDE)