Penanganan kekerasan seksual perlu Layanan satu Atap

 Oleh: DR Ninik Rahayu, SH MS

Katakata.id – Kelompok Penyandang Disabilitas memiliki kerentanan ketika menghadapi kekerasan seksual. Dukungan dari komunitas sangat minim didapatkan terutama dalam hal melaporkan kasus tindak pidana kekerasan seksual yang marak terjadi belakangan ini.

Badan Legislatif DPR RI baru saja mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Upaya DPR RI mengesahkan RUU TPKS, kita semua harus berterima kasih kepada kawan-kawan yang memperjuangkan isu – isu disabilitas. Tiga norma hukum yang diperjuangkan misalnya  terkait dengan sterilisasi paksa, aborsi dan pelecehan seksual. Tiga ketentuan ini yang kemudian atas dukungan dan dorongan yang luar biasa yang diberikan oleh kawan-kawan komunitas disabilitas. Maka. dia terintegrasi di dalam rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual.

Kalau kita perhatikan, kasus-kasus kekerasan seksual dua bulan terakhir ini cukup marak. Saya melihat ada daya dorong yang sangat kuat dari masyarakat termasuk teman-teman korban untuk melaporkan kasusnya untuk mengungkap bahwa kekerasan seksual itu ada faktanya dan bukan imajinasi apalagi fiksi serta bukan mengada-ada. Korban sudah berteriak minta tolong untuk mendapatkan keadilan karena ini adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan

Kalau kita memperhatikan pemberitaan yang cukup marak, sebetulnya ini adalah bagian kecil dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat yang tidak terlaporkan. Bangsa ini sedang dihadapkan pada kedaruratan penanganan kekerasan seksual. Kita tentu tidak setuju terhadap berbagai kekerasan seksual yang terjadi. Presiden pun pernah mengeluarkan Perpu Kebiri yang kemudian diundangkan.

Melihat fakta-fakta ini tentu sebagai masyarakat kita tidak boleh berdiam diri. Kita punya kewajiban memberikan dukungan penuh kepada negara yaitu dalam hal ini DPR RI yang sedang menyusun RUU TP-PKS sebagai prolegnas prioritas 2022. Karena memang belum dibahas sebagai proses, belum dibahas oleh pemerintah, maka ini akan ditetapkan sebagai RUU Prolegnas prioritas di 2022.

Kekerasan seksual yang dialami para santri, siswa di Panti Asuhan Depok yang dilakukan Bruder Angelo misalnya ini memberikan warning bagi kita semua bahwa kita tidak boleh terlambat untuk melakukan upaya penanggulangan dan upaya penanganan secara serius oleh seluruh elemen negeri ini.

 Kekerasan seksual itu persoalan yang sangat pelik dan rumit. Membutuhkan cara penyelesaian yang komprehensif karena persoalannya sangat kompleks. Bagi korban kekerasan seksual, ini adalah kejahatan yang meninggalkan jejak yang tidak akan pernah dihilangkan dengan apa pun, dengan cara apa pun dan oleh siapa pun karena ini langsung mengenai dirinya. Tubuh yang seharusnya dikuasai oleh dirinya lalu dipusakai oleh orang lain dengan cara kekerasan. Maka, tidak ada cara untuk menghilangkan trauma, kesakitan atas kejahatan yang terjadi pada dirinya.

 Tentu pelaku kekerasan seksual harus diberi hukuman yang setimpal, dan dipulihkan kesalahan-kesalahan tindak kriminalitas yang dilakukan. Korban harus dimudahkan untuk melakukan pelaporan. Sampai hari ini kita belum memiliki sistem penanganan terpadu dan pemulihan terpadu pada kasus kekerasan seksual.

Bukan Delik Aduan

Secara ideal korban kekerasan seksual itu harusnya mendapatkan layanan secara terpadu. Yang pertama, misalnya korban melapor, korban tahu bahwa dirinya korban. Itu tahap pertama yang paling awal karena banyak juga korban kekerasan seksual meskipun tahu dan paham kadang tidak mau melapor karena merasa malu, tidak ada dukungan, takut dan alasan lain sebagainya.

Memang keputusan akhir ada ditangan korban. Tetapi kalau setiap korban tidak mau melaporkan kasusnya maka ini juga akan berpotensi terjadinya pembiaran kekerasan seksual di kemudian hari karena tidak pernah diungkap bahwa ada pelaku kekerasan seksual di sekitar kita.

Kita semua perlu memberikan dukungan kepada korban agar korban memiliki kekuatan. Selain memiliki pengetahuan mereka memiliki kekuatan, kemampuan, keikhlasan hati untuk melaporkan kasus-kasus yang dialami.

Oleh karena itu, negara dalam hal ini pemerintah harus hadir dengan memberikan kemudahan bagi korban untuk melaporkan kasusnya. Korban bukan hanya berhenti diberikan kemudahan melapor tetapi diberi kemudahan untuk mengungkapkan kasus-kasusnya. Dibantu untuk memberikan kesaksian mendapatkan alat bukti dan saksi karena ini bukan delik aduan. Kasus kekerasan seksual bukan delik aduan.

Ada tanggung jawab dari aparat penegak hukum untuk menemukan alat bukti dan menambahkan saksi bahkan menghadirkan saksi. Karena yang dilukai pada kasus ini bukan hanya korban langsung tetapi kita semua sebagai warga negara juga dilukai perasaan dan kondisinya dengan kasus-kasus kekerasan seksual.

Kita merasa saat ini ada rasa tidak aman bagi perempuan kalau misalnya ancaman kekerasan seksual ini terus terjadi dan tidak diungkap dan tidak diselesaikan. Jadi, yang pertama itu pengaduan. Kedua, dukungan pemulihan bagi korban agar korban yang tertatih-tatih yang sakit dan tidak jarang ada kata yang sering keluar yakni kata tidak ada jalan keluar seperti kasus NWF salah satu mahasiswi diketahui harus mengakhiri hidupnya itu karena salah satunya tidak ada dukungan dari komunitasnya. Tidak ada dukungan bagaimana menyelesaikan kasusnya. Maka, dia memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Hal yang menjadi penting adalah proses pemeriksaan. Ketika perempuan sudah berani melaporkan, harus didukung kemudahan-kemudahan tadi dalam satu sistem penanganan. Jadi, korban itu tidak dipindah-pindah begitu seperti diperiksa kesehatan lalu ke kantor polisi, ke lembaga layanan atau ke beberapa tempat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Harapannya ada layanan satu atap. Korban datang kemudian institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk membantu korban keluar dari peristiwa yang dialami termasuk bagaimana berhadapan dengan hukum itu yang datang memberikan layanan bukan korban yang berpindah-pindah. Semua institusi yang memiliki kewenangan agar memberikan dukungan menyelesaikan kasusnya ketika berhadapan dengan hukum dan datang untuk memberikan dukungan.

Kemudian terkait upaya penanganan, selama proses hukum korban membutuhkan dukungan yang luar biasa. Bisa jadi dalam bentuk dukungan fisik misalnya memberikan rasa aman karena biasanya ada teror dari pelaku atau komunitas pada peristiwa pengungkapan ini. Bisa juga dalam bentuk dukungan ekonomi misalnya karena kasusnya, bisa menjadi tidak bekerja, tidak menghasilkan uang, tidak bisa sekolah jika korbannya siswa. Maka, harus tetap didukung supaya sekolahnya tidak terputus. Dukungan untuk mendapatkan akses dan manfaat yang seharusnya dia dapatkan selama menjadi korban kekerasan seksual justru tidak dia dapatkan. Semua ini adalah berbagai bentuk dukungan yang seharusnya dihadirkan oleh negara yakni memberikan dukungan kepada korban.

Kejahatan Kemanusiaan

Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Bagaimana cara menghargai tubuh perempuan. Perempuan bukan objek seksual. Perempuan adalah subjek dan yang terpenting adalah hal-hal tersebut dituangkan di dalam RUU dan dipastikan dituangkan di RUU TPKS yang akan dibahas tahun depan.

Hal lain yang juga sangat penting dan menjadi adalah kondusifitas yang terjadi dalam proses pemeriksaan baik itu di kepolisian, kejaksaan maupun peradilan sampai kasus itu diputuskan ada dukungan penuh pada korban. Di dalam RUU itu juga penting tertuang institusi yang melakukan pengawasan secara eksternal agar seluruh elemen bisa menjalankan pengawasan dengan sebaik-baiknya dan memberikan sanksi bagi mereka yang wanprestasi baik itu di dalam penyelenggaraan, pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual. (***)

Penulis merupakan Tenaga Profesional Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Lemhannas Republik Indonesia.

Related posts