Katakata.id – Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus mencari jati diri. Memoles kekurangan yang ada, bahkan tidak segan-segan untuk tidak hanya mereformasi melainkan merevolusi bentuk yang sudah ada. Ibarat seorang anak manusia, Indonesia ada pada posisi remaja yang masih labil, mencari jati diri dan terkadang merasa bangga bahkan unjuk diri tentang eksistensi keberadaanya. Istilah kaum milenial menyebutnya ‘puber’.
Menjelang pemilihan umum tahun 2024, bermacam ide muncul dari anak bangsa tentang format pemilihan umum legislatif dan eksekutif yang ideal. Padahal, sebenarnya bukan ideal, melainkan untuk coba-coba yang pada akhirnya sampai kembali kepada ide awal lagi. Komisi Pemilihan Umum sekarang sedang mendiskusikan untuk mencoba sistem proporsional tertutup bagi pemilihan legislatif dan model asimetris untuk pemilihan kepala daerah. Alasan yang sangat esensial adalah efektifitas proses pemilihan.
Sebagai bagian dari anak bangsa, penulis ingin andil dalam memoles kepuberan bangsa ini. Pada tahun 2022 ada 101 penjabat kepala daerah, sedangkan pada tahun 2023 ada 171 penjabat kepala daerah. Maknanya, menjelang 2024 ada 272 penjabat kepala daerah di Indonesia. Masa kerjanya relatif lama dari 1 hingga 2 tahun. Daerah otonom di Indonesia berjumlah 514 kabupaten/kota dan 34 propinsi, berarti ada 49,6% daerah otonom yang dipimpin oleh seorang penjabat kepala daerah.
Selama menjelang pemilihan umum serentak tahun 2024, masyarakat Indonesia akan dipertontonkan pada komparasi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah antara penjabat kepala daerah versus kepala daerah definitif. Ingat, penjabat kepala daerah adalah aparatur sipil negara atau pejabat karir yang memimpin suatu daerah dengan sendirinya (tanpa wakil). Sementara kepala daerah definitif adalah pejabat politik (politisi) yang standarnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Terjadi ketimpangan sumberdaya dalam pengelolaan pemerintahan tersebut selama menjelang pilkada.
Kasus separoh penjabat kepala daerah yang dikomparasikan dengan kepala daerah definitif ini akan memberikan penilaian tersendiri pada penting atau tidaknya keberadaan seorang wakil kepala daerah. Pertama, banyak kasus menyebutkan disharmonisasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Disharmonisasi ini selalu disebabkan oleh pembagian tugas yang tidak jelas dan masalah penguasaan sumber-sumber tertentu yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal menjelang proses pemilihan kepala daerah tersebut. Disharmonisasi ini terkadang dapat menghambat jalannya pemerintahan daerah dan bahkan saling ‘menjegal di tengah jalan’. Meski tidak ada indikasi saling menjegal, di Riau sendiri banyak kasus kepala daerah mesti rela menyerahkan kepemimpinan kepala daerah kepada wakilnya.
Kedua, roda pemerintahan daerah tetap dapat berjalan dengan lancar meski wakil kepala daerah tetap pada posisi mewakili. Posisi wakil selalu diberikan wewenang mengurus internal pemerintahan, tetapi tetap mesti mendapat persetujuan dari kepala daerahnya. Maknanya, posisi wakil itu tidaklah bisa membuat kebijakan tanpa direstui kepala daerahnya. Posisi wakil kepala daerah tidak lain hanyalah sebagai seorang pembantu kepala daerah saja. Jika hanya sebagai pembantu, maka urusan ini dapat diserahkan kepada sekretaris daerah dan para asisten kepala daerah. Sehingga, ada dan tiadanya seorang wakil kepala daerah tidaklah begitu penting.
Ketiga, bisa dilihat dari kasus penjabat kepala daerah yang sudah dilantik sejak pertengahan tahun 2022 lalu, atau beberapa penjabat kepala daerah pada beberapa tahun sebelumnya yang notabene tanpa wakil penjabat kepala daerah. Pemerintahan daerah tetap efektif sebagaimana daerah yang dipimpin oleh kepala daerah definitif yang lengkap dengan wakilnya. Kasus Kota Pekanbaru sangat unik, seorang Pj. Walikota dibebankan tugas yang sangat krusial dan sulit untuk diselesaikan selama 10 tahun kepemimpinan walikota definitif, yakni masalah sampah, banjir dan jalan yang rusak. Inti persoalan di Pekanbaru ada pada tiga masalah tersebut. Pj. Walikota sudah mulai mengurai dan bekerja keras sehingga sudah mulai pula menampak hasil walaupun belum maksimal.
Jadi, persoalan kepala daerah apakah perlu wakil atau tidak? Hal ini dapat pula dijawab dengan beberapa pertimbangan: Pertama, kasus tahun 2022 hingga 2024 yang separoh daerah dipimpin oleh seorang penjabat kepala daerah, jika ini efektif sebagaimana daerah lainnya yang dipimpin oleh kepala daerah definitif dan lengkap dengan wakilnya, maka perlu dipertimbangkan pula betapa tidak pentingnya wakil kepala daerah tersebut.
Kedua, masalah utamanya bukan ada atau tidaknya seorang wakil kepala daerah, melainkan masalah pola kepemimpinan kepala daerah terpilih untuk menjalankan pemerintahan daerah tersebut. Sumber daya manusia mesti dimaksimalkan. Keberadaan sekretaris daerah, para asisten, para kepala dinas dan camat mesti maksimal, sehingga peran kepala daerah adalah peran manajerial dan kepemimpinan. Paul Hersey memberikan istilah teori kepemimpinan situasional, yakni perlu mengkobinasikan antara gaya kepemimpinan seseorang kepala daerah dengan kedewasaan para pembantunya. Menempatkan orang yang tepat adalah pilihan wajib seorang kepala daerah, bukan berdasarkan emosional dan faktor non profesional lainnya.
Ketiga, jika persoalannya ada pada beban kerja, maka mesti dievaluasi juga atas berfungsi secara maksimal atau tidak kerja wakil kepala daerah tersebut. kesalahannya bukan ada kinerja wakil kepala daerah tersebut, melainkan pada wewenang yang tidak jelas wakil kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Argumentasi kerja wakil kepala daerah adalah sebagai bagian manajerial internal pemerintahan daerah, bukankah kerja tersebut sudah dibebankan kepada sekretaris daerah yang juga sebagai struktur tertinggi ASN di pemerintahan daerah tersebut. Apakah kerja wakil kepala daerah tersebut untuk menghadiri acara seremonial belaka? Itupun bisa digantikan oleh para asisten atau kepala dinas terkait, sehingga kehadirannya memang benar-benar bermakna bagi kegiatan yang dihadirinya karena memang sesuai dengan tupoksinya. (***)
Penulis merupakan Mahasiswa Program Doktor Studi Kebijakan Universitas Andalas