Katakata.id – Pegiat Aksi Kamisan Pekanbaru melakukan aksi diam, orasi, dan aksi menutup mata di tugu perjuangan, depan kediaman Gubernur Riau Jalan Diponegoro, Kamis (18/1/2024).
Aksi ini juga bertepatan dengan peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan yang dimulai pada 18 Januari 2007 di depan Istana Negara dan aksi Kamisan Pekanbaru yang ke-74. Aksi ini diinisiasi oleh keluarga korban untuk meminta tanggung jawab negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tujuh belas tahun berlalu, Aksi Kamisan masih menjadi ruang bagi korban, keluarga korban, dan pegiat HAM untuk menuntut akuntabilitas dan kepastian. Orang silih berganti, Aksi kamisan tetap berdiri menuntut keadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tak sedikit korban dan keluarga korban yang berjuang mencari keadilan hingga tutup usia dan belum sempat mendapatkan keadilan karena impunitas yang masih dilanggengkan oleh negara.
Dalam kontestasi Pemilu 2024 banyak pihak yang beropini isu HAM merupakan isu lima tahunan. Padahal isu ini, merupakan perjuangan korban dan keluarga korban untuk merebut kembali haknya yang sejak lama telah diperjuangkan hingga saat ini telah memasuki aksi yang ke-801. Sehingga harusnya isu ini wajib menjadi buah pikir dari seluruh calon yang akan memimpin negara ini.
Ketika penguasa silih berganti menutupi kasus, ketika itu pula orang silih berganti menjaga payung hitam menanti keadilan tiba. Maka, kolektifitas pergerakan yang sudah dilakukan ini harus terus ada dan berlipat ganda.
Untuk Aksi Kamisan ini mengambil tema serentak yang dilakukan secara nasional, yaitu “#17TahunAksiKamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Kamisan Tetap Berdiri!” dan Aksi Kamisan Pekanbaru ke-74 menggaungkan tema “17: Merdeka Pikiran dan Nurani”.
Payung hitam diseberang istana negara menjadi saksi bisu perjuangan para penyintas, keluarga korban dan pegiat HAM yang hadir setiap hari kamis sejak tanggal 18 Januari 2007 untuk melawan lupa. Aksi kamisan ini bukan dimiliki oleh sekelompok orang namun semua orang diundang.
Koordinator aksi, Wilton Amos Panggabean mengatakan bahwa 17 tahun Aksi Kamisan merupakan jalan asa dan nestapa yang panjang dari korban pelanggaran HAM dan keluarga korban, diinisiasi oleh Ibu Sumarsih dan Suciwati istri Munir, 17 tahun Aksi Kamisan tanda negara tidak pernah serius menuntaskan seluruh Pelanggaran HAM di Indonesia, pelanggaran silih berganti dan terus bertambah, sudah lebih 800 kali aksi kamisan dilakukan dan 74 kali aksi kamisan Pekanbaru berdiri tegak menyerukan keadilan bagi korban pelanggaran HAM di daerah maupun isu Nasional.
“Desakan demi desakan dilakukan, kebohongan terus terjadi, padahal Presiden Jokowi sebelumnya telah membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dibentuk melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022 namun hingga dipenghujung pemerintahan nawacita ini, kepastian tak juga terjawab, hingga Komnas HAM pada september 2023 lalu menetapkan ada 17 kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014,” jelas Wilton.
“Sehingga aksi kali kami mendesak negara untuk segera menuntaskan seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM walaupun yang setidak-tidaknya terhadap kasus yang telah di nyatakan oleh Komnas HAM sebagai Pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Erwin Hariadi Simamora dari YLBHI-LBH Pekanbaru mengatakan bahwa negara saat ini bukan mengurangi dosa malah menambah dosanya dibuktikan dengan deretan panjang peristiwa pelanggaran HAM terkhususnya LBH Pekanbaru menyoroti peristiwa pelanggaran di Sumatera seperti kasus perampasan ruang hidup terhadap warga Rempang di Batam, dan kasus Air Bangis dan kasus -kasus lainnya.
“Namun sampai kapan masyarakat harus menerima kenyataan pahit bahwa negara tak mampu melindungi,” kata Erwin.
Eko dari Pondok Belantara mengatakan bahwa pelanggaran HAM masih terjadi sampai saat ini di negara ini, bahkan pembungkaman terhadap mahasiswa oleh pihak kampus juga kerap terjadi ketika menyuarakan hak hak bicara ketika melihat ada ketimpangan di dalam kampus ataupun di luar kampus.
“Payung hitam melambangkan kita sedang berduka,” ujar Eko.
Khariq Anhar selaku perwakilan mahasiswa Universitas Riau mengatakan bahwa dimana kuburan pada aktivis yang dihilangkan? 1998, reformasi dilakukan namun sampai saat ini kebenaran ditutup erat oleh penguasa. Sekarang, penghilangan nyawa mungkin tidak didapati pada demo demo yang dilakukan mahasiswa.
“Namun, ketika keadilan belum ditegakkan untuk korban. Maka akan selalu ada kesempatan hal hal ini terulang, dan 2024 bau bau reformasi kembali tercium. Terus tegakkan keadilan, sebab kebenaran hanya ada di langit. Dan kitalah yang membawanya turun membumi,” ungkap Khariq.
Hilarius Sihombing dari warga sipil mengatakan bahwa 17 tahun Aksi Kamisan untuk merefleksi seluruh kasus pelanggaran HAM yang terus terjadi. Pada kamis 18 Januari aksi kamisan Pekanbaru ke 74 berdiri tegak dalam advokasi kampanye setiap pelanggaran HAM terkhusus perampasan ruang hidup di Indonesia dan permasalahan urban di Kota Pekanbaru.
“Dengan ini kami menuntut penyelenggara negara dan pemerintah yang bertanggung jawab untuk segera memulihkan hak korban, serta menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM,” tegas Hilarius Sihombing.
Aksi Kamisan Pekanbaru menuntut dengan tegas Pemerintah tidak abai tidak diam, dan tidak menambah catatan buruk pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia serta mendesak negara segera memberikan kepastian untuk menuntaskan seluruh kekejian kejahatan HAM yang terus terjadi hingga saat ini. Untuk itu Aksi Kamisan Pekanbaru mengajak seluruh masyarakat Riau untuk mengawal dan menyerukan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM. **/Rls