Katakata.id – World Bank secara perdana melalui publikasinya tahun 1992 berjudul Governance and Development mempopulerkan istilah governance. Substansi yang ditekankan World Bank adalah bahwa negara maupun pemerintah, dengan seluruh sumber daya sosial dan ekonomi yang dimiliki harus mengajak semua terlibat dalam manajemen pembangunan. Tiga tahun setelahnya, Asian Development Bank (ADB) tahun 1995 mengeluarkan policy paper dengan judul Governance: Sound Development Management, berbeda dengan World Bank, ADB secara lebih spesifik menekankan prinsip-prinsip esensial yang harus ada dalam praktik governance antara lain meliputi akuntabilitas, partisipasi, transparansi dan prediktabilitas. Dua tahun sesudahnya United Nations Development Programme (UNDP) tidak mau ketinggalan untuk merumuskan apa itu governance, melalui paper-nya tahun 1997, UNDP mengekplanasi bahwa ciri utama good governance adalah mengikutsertakan semua, transparan, bertanggung jawab, efektif, adil, menjamin tegaknya supremasi hukum dan mengedepankan kepentingan masyarakat miskin dan lemah untuk di prioritaskan dalam pengambilan keputusan atas suatu kebijakan publik.
Dari makna-makna esensial diatas kita menyadari dan bersyukur betapa reformasi politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998 hingga kemudian menjalar gaungnya keseluruh pelosok daerah telah memberikan peluang bagi kita civil society untuk terlibat aktif dalam perumusan kebijakan publik, sekaligus melakukan pengawasan langsung terhadap jalannya roda pemerintahan di daerah masing-masing apakah sampai kepada tujuan pembangunan yang berkeadilan dan men-sejahterakan. Kita tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau pembangunan itu hanya dieksekusi, diimplementasi atau dimonopoli oleh pemerintah sendiri ? visi dan misi dirumuskan sendiri, program dan kegiatan dirumuskan sendiri, perencanaan strategis pembangunan disusun sembunyi-sembunyi (hidden power), sesuai selera tanpa pola dan sistem penjaringan aspirasi masyarakat yang demokratis, hanya melibatkan segelintir pemodal atau dunia usaha yang nantinya akan menopang biaya realisasi proyek semata.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dan pada bagian mana kita civil society dapat terlibat dalam manajemen pembangunan atau perumusan kebijakan publik khususnya di daerah ? jawabannya kita dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2017 tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Dalam peraturan tersebut, komponen masyarakat dapat terlibat aktif dalam berbagai konteks. Pertama, masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan daerah yang berkenaan dengan rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, serta seluruh aspek yang berkaitan dengan pengaturan yang memberikan sanksi hingga yang memiliki skala dampak sosial yang luas. Adapun cara partisipasinya bisa dilakukan dengan berbagai skema seperti, konsultasi publik, penyampai aspirasi, rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialasi, seminar, lokakarya, penyuluhan dan beragam model diskusi publik lainnya.
Kedua, masyarakat dalam peraturan tersebut juga dapat terlibat pada aspek mulai dari perencanaan kebijakan hingga evaluasi pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintah daerah. Seperti terlibat dalam rancangan awal RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra OPD dan dokumen perencanaan strategis pemerintahan daerah lainnya. Hanya saja pada konteks ini karena dimensinya sangat teknokratis dan berbasis pada kompetensi dan pengalaman, maka pemerintah menetapkan beberapa kriteria yang mesti di penuhi oleh unsur civil society jika ingin terlibat antara lain meliputi penguasaan mendalam terkait permasalahan yang akan dibahas, latar belakang keilmuan dan keahlian yang mumpuni, memiliki pengalaman otentik atas permasalahan yang akan dibahas dan terkena dampak langsung atas kebijakan yang akan dibahas dalam pembangunan. Perlu ditekankan secara substansial pada bagian ini masyarakat memiliki peluang mengawal jalannya capaian pembangunan hingga tahap evaluasi.
Ketiga, masyarakat memiliki akses untuk terlibat dalam pengelolaan aset dan sumber daya alam daerah. Pemerintah daerah berkewajiban membuka ruang partsipasi bagi masyarakat meliputi berbagai hal seperti penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan seluruh aset-aset publik yang memiliki fungsi bagi masyarakat secara luas, dan tentunya hal ini juga didasarkan pada prinsip kepemilikan bersama dan kesetaraan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengakses barang publik dan ruang publik dengan tentu juga menjaga dan merawatnya (mutual-benefits). Termasuk juga dalam hal ini pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada di daerah, bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki hak atau akses, terkait bagaimana polanya tentu disesuaikan dengan kebijakan dan kepentingan masing-masing pihak.
Keempat, masyarakat punya hak dan akses untuk terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat pada konteks ini meliputi berbagai aspek, mulai dari hak mendapatkan pelayanan publik yang prima atas seluruh kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, perizinan hingga catatan kependudukan. Masyarakat juga dapat memberikan masukan kepada birokrasi pemerintah terkait dengan kreasi dan inovasi pelayanan, dan yang paling penting juga masyarakat dapat membuat laporan pengaduan pelayanan publik apabila menemukan proses pelayanan yang tidak prima. Adapun mekanismenya dapat melalui lembaga negara seperti Ombudsman atau melalui unit pengaduan pelayanan di masing-masing urusan pemerintahan.
Dari keempat etape tersebut yang menjadi substansi partisipasi masyarakat, sudah sangat jelas dan terang bahwa kita seluruh komponen masyarakat memiliki kesempatan dan akses untuk menjadi agen pembangunan yang primer demi terwujudnya tujuan pembangunan yang adil, merata dan sejahtera. Good governance hanya dapat terwujud bilamana masyarakatnya aktif-kompeten dan pemerintahnya demokratis-responsif, inilah waktu yang penting bagi kita untuk menata relasi antara pemimpin (goverment) dan yang di pimpin (civil society). Relasi pemerintahan yang kuat bukan tentang pro-kontra semata, namun lebih jauh dari itu adalah tentang kesadaran dan kemauan untuk saling mendengar ide, operasional gagasan dan saling mendukung terhadap kebenaran yang senyatanya bukan semaunya.
Penulis: Rafzamzali, S.IP., M.Si