Oleh : Rujalinor
KataKata.id – Pada pertengahan September 2021, masyarakat kalimantan selatan dihebohkan dengan Giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Dari OTT yang dilakukan lembaga anti rasuah tersebut, ditetapkan tiga orang tersangka, satu ASN dan dua orang dari pihak swasta. Dalam OTT tersebut juga berhasil diamankan uang sebesar 345 juta yang diduga merupakan komitmen Fee dari pemenang tender proyek.
Terjadinya OTT terhadap pejabat publik di negara ini bukan kali pertama terjadi, bahkan sudah menjadi tontonan yang tidak asing bagi masyarakat. Seolah ada kesan secara tersirat ke publik, bahwa posisi jabatan publik sangat dekat dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Beberapa kasus korupsi bahkan sangat mengganggu jalannya penyelenggaraan pelayanan publik. diantaranya mega korupsi e-KTP misalnya, yang berdasarkan Audit BPK merugikan negara 2,3 Triliun Rupiah. Merupakan salah satu korupsi yang sangat berdampak terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Akibat korupsi tersebut, pelayanan e-KTP kepada masyarakat menjadi terhambat.
Banyak masyarakat yang mengeluhkan tidak bisa mendapatkan e-KTP, karena blangko yang tidak tersedia. Padahal KTP sangat dibutuhkan masyarakat, sebagai persyaratan untuk mendapat berbagai pelayanan publik. Akhirnya banyak masyarakat yang tidak terpenuhi hak – haknya untuk mendapatkan pelayanan publik.
Selain korupsi e-KTP, Masih belum lepas dalam ingatan penulis, korupsi yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 adalah korupsi bantuan sosial. Bantuan sosial diberikan sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak kebijakan pemerintah. Alih – alih bersimpati dan membantu kesulitan masyarakat, oknum pejabat publik justru memanfaatkan kekuasaannya melakukan korupsi. Meminta Fee dari setiap paket bantuan sosial yang disediakan pihak ketiga.
Di saat kondisi masyarakat kesulitan ekonomi dan sangat memerlukan bantuan sosial untuk bertahan hidup. Masih ada oknum pejabat publik yang tidak memiliki kepekaan dan cenderung rakus merampok uang negara untuk kepentingan pribadi. Seharusnya uang negara tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, agar lebih banyak masyarakat terdampak pandemi bisa menerima manfaat bantuan sosial.
Korupsi seolah sudah menjadi penyakit yang akut dan sulit sekali dihilangkan. Bahkan korupsi cepat menjalar dan berada hampir di setiap level pemerintahan mulai dari pemerintah pusat, daerah hingga level desa. OTT KPK di Kabupaten Hulu Sungai Utara, menunjukkan bahwa korupsi di level daerah masih saja terjadi.
Kali ini korupsi terjadi dalam lelang dua proyek rehabilitasi irigasi. oknum pejabat publik, menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur pemenang tender proyek dan meminta komitmen Fee proyek dari perusahaan pemenang lelang.
Rehabilitasi irigasi yang diharapkan dapat membentuk dan memaksimalkan pengairan lahan pertanian akhirnya terhenti akibat kasus korupsi. Irigasi yang seharusnya dapat diperbaiki dan menjadi harapan para petani untuk menunjang produktivitas lahan pertanian serta meningkatkan kesejahteraan mereka, malah menjadi ladang korupsi dan ajang untuk permufakatan jahat maling uang rakyat.
Akhirnya rakyatlah yang harus menanggung kerugian yang sebenarnya dan merasakan pahitnya akibat korupsi yang terjadi. Bagaimana mungkin pelayanan publik bisa makin baik, masyarakat merasa makin puas dan senang terhadap pelayanan pemerintah, kalau uang jerih payah masyarakat yang dikumpulkan dalam bentuk pajak justru menjadi ladang korupsi.
Lalu yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, Mengapa hal ini berulang terjadi, lalu apa yang seharusnya dilakukan agar korupsi tidak lagi menjadi batu sandung bagi pembangunan dan kemajuan suatu negara. Tentu pertanyaan tersebut tidak bisa hanya dijawab dengan narasi saja, perlu komitmen bersama, aksi nyata secara kontinyu untuk melakukan perbaikan di segala sisi, untuk mencegah terjadinya praktik – praktik korupsi, di mana akhir – akhir ini korupsi cenderung menjadi budaya.
Selain itu keteladanan anti korupsi dalam bentuk sikap dan perbuatan, juga harus dilakukan mulai dari pimpinan dan pejabat publik di pemerintahan, agar dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Jangan sampai pimpinan dan pejabat publik yang notabene menyusun undang – undang dan aturan turunan terkait pemberantasan korupsi justru melakukan korupsi dan melanggar apa yang telah mereka buat.***
Penulis merupakan Asisten Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Kalimantan SelatanÂ