Katakata.id – “Dormiunt aliquando leges nunquam moriuntur” hukum terkadang tertidur akan tetapi hukum sejatinya tidak pernah mati. Lantas ketika berbicara mengenai dialektika hukum sebagai sumber kehidupan manusia, kita diantarkan kepada suatu paradigma berfikir bahwa pada sejatinya ruh dari hukum adalah sebuah keadilan, oleh karena ketika hukum sudah terpisah dari ruhnya yakni keadilan. Maka hal tersebut tidak lagi dikatakan sebagai sebuah hukum. Sebagaimana sebuah adegium berbicara: “Equum et benum est lex legume”, Keadilan sejatinya merupakan hukum itu sendiri. Sehingga esensi keadilan yang begitu fundamental dalam perjalanan penegakan hukum yang ada, maka keadilan tidak boleh dipandang sebelah mata dalam menetapkan suatu hukum sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat.
Selanjutnya dalam permasalahan hukum yang tidak boleh kita lupakan juga adalah sebuah peraturan perundang-undangan sebagai sebuah intrumen untuk menegakan hukum demi menjangkau keadilan bagi para pencarinya memerlukan sebuah integrasi keadilan sosial serta sifat akomodatif terhadap setiap fenomena sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat yang ada. Karena pada sejatinya undang-undang yang merupakan bagian dari intrumen hukum merupakan sarana yang paling efektif untuk menyatukan kepentingan-kepentingan masyarakat yang ada sebagai sebuah kepentingan nasional bersama yang merupakan wujud dari posisi hukum yang integral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada.
Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat serta demokratis, dimana di tahun 1945 di teriakan pekikan kemerdekaan di seluruh seantreo nusantara memerlukan kodifikasi hukum pidana dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang canggih guna menyesuaikan dengan peradaban yang terus berkembang dari masa ke masa. Terkhusus dalam hal ini adalah sebuah intrumen hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur tindak pidana serta pertanggung jawaban pidana masyarakat demi mewujudkan sebuah certainty of law (kepastian hukum) dalam pelaksanaan kehidupan yang ada. Karena pemberlakuan intrumen hukum kitab undang-undang hukum pidana yang ada di Indonesia selama ini tidak memiliki titik kejelasan yang dapat menjamin keadilan sosial yang diimpi-impikan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. KUHP yang di gunakan bangsa Indonesia yang telah melahirkan keputusan-keputusan hukum yang memvonis jutaan masyarakat Indonesia dalam hal pidana tidak jelas serta rabun dari arti keadilan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan KUHP yang dipergunakan masyarakat Indonesia selama ini merupakan warisan dan peninggalan kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Dimana pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena 76 tahun sudah pemberlakuan intrumen hukum pidana yang telah usang, serta tidak mampu mengakomodir perkembangan peradaban dan fenomena sosial yang dialami masyarakat Indonesia, maka KUHP mesti dilakukan pembaharuan demi menegakan mertabat serta daulat bangsa di bidang hukum.
Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Oleh karenanya 2022 merupakan tahun dimana Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus segera disahkan sebagai upaya menjemput kemerdekaan nasional yang hakiki di bidang hukum yang di gali dari nila-nilai dasar dan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Karena pada sejatinya hukum pidana positif yang berorientasi pada KUHP saat ini menimbulkan kekhawatiran, terutama berkaitan dengan sifat dogmatis dan substansial.
Dengan mengajarkan KUHP warisan Belanda, secara langsung maupun tidak langsung berarti mengajarkan dan menanamkan pula dogma-dogma, konsep-konsep, serta norma-norma substantif yang dirumuskan didalam KUHP. Seperti diketahui KUHP dilatarbelakangi pemikiran individualisme liberalisme dan sangat dipengaruhi oleh aliran klasik serta neo klasik.
Namun demikian, dalam penyusunan RUU KUHP saat ini juga tidak boleh melupakan jati diri kenegarawan para akar ahli hukum untuk bersikap akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Indonesia mengenai substansi dari intrumen peraturan yang ada agar tidak menjadi kerancuan dalam pelaksanaannya kelak di kemudian hari. Karena sebagai insan hukum kita semua mengamini bahwa hukum merupakan sumber kehidupan yang hakiki, dimana ketika hukum melalui intrumennya memerintahkan menghilangkan nyawa seseorang maka konsekuensi yang harus di terima adalah hal tersebut merupakan keadilan yang bersifat represif dan harus diterima sebagai alasan logis dari diadakannya kodifikasi hukum yang ada.
Namun demikian, beberapa indikator pasal yang seharusnya tidak ada di dalam RUU KUHP sebagai landasan logis dari kematangan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang mapan adalah pasal penghinaan. Baik itu pasal 240 & 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, pasal 353 dan 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara serta pasal 218 & 219 mengenai penghinaan terhadap Presiden serta Wakil Presiden. Karena dalam penerapannya berdasarkan pengalaman fenomenologi yang telah terjadi adalah seringnya instrumen undang-undang yang ada dijadikan sebagai konfigurasi politik untuk menjadikan kritikan sebagai suatu hal dibungkam sehigga nilai-nilai demokrasi yang kita anut selama ini berubah menjadi mobokrasi yang menjadikan pemerintahan dikuasai oleh kelompok orang yang memiliki kepentingan kelompok yang berkuasa. Dalam artian, hanya golongan-golongan tertentu saja, bukan oleh rakyat sendiri dan untuk kepentingan rakyat secara murni.
Dalam penegakan hukum juga sering kali terjadi pembiasan yang membawa alam sadar masyarakat terjebak dalam keraguan untuk menyuarakan kritik yang konstruktif dalam perjalanan pemerintahan yang ada. Selain itu asas equality before the law yang dikesampingkan juga menjadi tanda tanya besar bagi penyelenggaraan negara Indonesia sebagai negara demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat yang ada serta menjadikan instrumen hukum sebagai a tool of social engineering. Oleh karena hal tersebut maka pasal-pasal penghinaan yang tercantum di dalam RUU KUHP sudah semestinya direvisi atau bahkan dihapuskan sebagai langkah konkret merawat nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia.
Selain itu Hukum di negara kita hendaknya dikembangkan, ditetapkan dan dilaksanakan khusus sesuai dengan kepribadian indonesia dan perkembangan revolusi dewasa ini. Jangan sampai para insan hukum yang ada, sadar atau tidak sadar, meneruskan begitu saja teori-teori dan praktek-praktek hukum yang dahulu pernah diajarkan dan dipraktekkan di zaman Hindia Belanda sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Seakan-akan dalam bidang hukum jalannya sejarah bangsa Indonesia sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belanda hingga sekarang berlangsung terus secara tenang dan tenteram, seakan-akan teori dan praktek hukum dari zaman yang silam itu merupakan naluri atau harta pusaka bagi kita, yang sedapat mungkin harus dipelihara sebaik-baiknya, tanpa perubahan dan penggantian.
Maka dari itu RUU KUHP karya anak bangsa yang akan mengatur tindak pidana serta pertanggung jawaban pidana masyarakat Indonesia perlu kita dukung untuk disahkan dengan syarat merevisi beberapa pasal penghinaan yang ada sebagai perwujudan kedaulatan Indonesia sebagai negara demokratis yang bersumber pada ide-ide dasar Pancasila, yang merupakan landasan nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan dan digali untuk bangsa Indonesia. Meliputi religiusitis, humanistik, nasionalisme dan keadilan sosial yang terintegrasi dengan nilai-nilai demokrasi sebagai wajah dari bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat di mata dunia. (***)
Penulis merupakan Kepala Dinas Advokasi IMPKR Pekanbaru, Direktur LSH Indonesia.