Oleh: Dr. Tito Handoko S.Ip, M.Si
Katakata.id – Sebagai seorang suami yang menggantikan peran istri untuk berbelanja bahan kebutuhan pokok sejak lebih dari 7 tahun yang lalu, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sudah bukan cerita asing bagi kebanyakan laki-laki seperti saya. Cerita pergantian peran ini sebetulnya juga bukan karena niatan tetapi karena kebetulan tersebab menemani istri belanja di pasar yang menghabiskan waktu lebih dari 1,5 jam padahal bahan yang dicari tidak terlalu banyak menyebabkan saya tidak betah dan “uring-uringan” dengan istri yang berbelanja dari satu lapak ke lapak dagangan yang lain padahal bahan yang dicari sama. Tapi begitulah perempuan, ketika ia berbelanja ia akan mencari alternatif harga paling murah dan menawar harga kadang tidak masuk akal.
Singkat cerita, karena begitu seringnya berbelanja kebutuhan bahan pokok di pasar tradisional mengajarkan saya untuk menumbuhkan kesetiakawanan sosial dan empati yang lebih kuat dengan tidak pernah menawar harga ke pedagang. Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok sejak lebih 2 bulan terakhir juga mendorong para suami untuk menemani istrinya ke pasar, paling tidak pengalaman itu saya temui ketika berbelanja di pasar panam pada selasa (14/06/22) dan minggu pagi (19/06/22). Mungkin para suami itu penasaran dengan belanja istrinya yang semakin sedikit tetapi uang belanjanya naik, syukurnya bagi saya lebih banyak para suami yang ke pasar menandakan pergantian peran atau setidaknya empati terhadap istri semakin meningkat.
Diantara cerita pergantian peran itu, saya justru lebih tertarik dengan keluhan ibu-ibu tentang harga cabai yang semakin “pedas” dan harga bawang yang semakin “perih”. Sebetulnya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok ini telah disampaikan oleh Pemerintah dalam pidato 1 menit Presiden Jokowi pada bulan ramadhan yang lalu. Pemerintah dan masyarakat mesti bersiap mengantisipasi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok pra dan pasca lebaran, begitulah kesimpulan dari pidato presiden tersebut.
Pidato singkat Presiden itu sebetulnya dapat menjadi pedoman bagi lembaga Negara terkait dan pemerintah daerah melalui dinas terkait untuk melakukan kontrol terhadap harga bahan kebutuhan pokok. Namun, tampaknya instansi tersebut abai terhadap arahan Presiden dengan melihat kondisi pasar dalam jangka pendek tanpa dapat memprediksi alur distribusi dalam jangka panjang. Kondisi pasar tradisional di Riau umumnya mengalami kenaikan harga yang sangat signifikan (lebih dari 35%) yang tentu akan mempengaruhi daya beli masyarakat.
Menara Gading Pemerintah
Bagi kebanyakan masyarakat kecil seperti saya, kenaikan harga-harga bahan kebutuhan adalah bukti naïf dan gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Betapa tidak, kenaikan harga ini jelas karena rantai distribusi yang tidak mampu dijaga dengan baik, selain itu problem hulu juga tidak mampu dituntaskan misalnya soal kebijakan ketahanan pangan lokal yang tidak berkelanjutan.
Padahal jelas, tugas pemerintah sebagaimana mengutip pendapat Ryaas Rasyid (1997) ia harusnya hadir sebagai a rulling process yang ditandai oleh sifat ketergantungan masyarakat kepada Pemerintah. Kondisi ketergantungan ini tampaknya tidak disadari oleh Pemerintah karena ditengarai ia terlalu lama berada di “Menara Gading”, sehingga untuk kembali ke bawah cukup sulit karena ia terbiasa dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang dibuat, disediakan dan dinikmatinya sendiri.
Mengapa Gagal Menjaga Stabilitas Harga?
Problem gagalnya pemerintah ini bukan barang baru untuk didiskusikan, sebab ia memonopoli hampir semua aspek kehidupan masyarakat sehingga kritik terhadapnya pun hanya dianggap “Butiran Debu”. Menurut hemat penulis, problem utama kenaikan harga karena tidak selesainya sengkarut distribusi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Padahal jika merujuk pada kebijakan yang ada, Pemerintah khususnya pada level daerah dapat menyelesaikan problem distribusi dengan memperkuat kerjasama antar daerah atau paling tidak menugaskan BUMD atau Dinas Terkait untuk melakukan kerjasama dengan para kelompok tani sebagai penyedia bahan kebutuhan misalnya cabai dan bawang.
Kasus Riau, rantai distribusi yang memang sepenuhnya berada di tangan swasta dan perorangan nyatanya mempengaruhi stabilitas harga. Tidak ada jaminan bahwa para pemegang kendali distribusi itu tidak akan melakukan “sabotase” harga, apalagi dengan kondisi ekonomi nasional dan lokal yang “unpredictable”.
Tawaran Solusi
Sebagai penstudi ilmu politik (disclaimer), saya agak sulit memberikan solusi jangka pendek. Tetapi untuk solusi jangka panjang dapat dilakukan dengan mengembangkan komitmen pemerintah untuk membentuk sentra produksi (anggap saja cabai dan bawang) di beberapa daerah potensial seperti Kampar dan Kuansing.
Pemerintah harus memberi jaminan kepada para petani soal stabilitas harga pupuk, suplai bibit, bantuan pangan bagi petani dan sebagainya. Karena bagi petani, untuk bertahan hidup tanpa “Hutang” dalam tempo 3 sampai dengan 6 bulan agak sulit jika tidak ada campur tangan pemerintah memberikan subsidi kepada petani.
Selain itu, untuk wilayah perkotaan dapat dilakukan dengan penguatan “Urban Farming” yang telah sukses dilakukan di Bandung, Jogja dan Surabaya serta Negara tetangga Singapura.
Wallahualam.
Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Riau & Bapak Rumah Tangga