Haruskah Harga BBM Naik?

Oleh: Firman Edi, SE

Katakata.id – Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada tanggal 3 september 2022 pukul 14.30 WIB. Pemerintah berdalih keputusan ini terpaksa dibuat karena keuangan beban negara yang semakin besar karena subsidi BBM.

Adanya temuan bahwa pengunaan sekitar 70% penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran atau sebagian besar dinikmati oleh masyarakat yang mampu menjadi alasan pemerintah mempertimbangkan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Subsidi BBM sebagian akan dialihkan ke Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar 12.4 T yang diberikan kepada 20.65 juta keluarga yang kurang mampu dengan rincian sebesar Rp150.000/bulan. Selain itu pemerintah menyiapkan bantuan subsidi upah dengan anggaran sebesar 9,6 T untuk 16 juta pekerja dengan kriteria gaji maksimum 3,5 juta/bulan.

Kebijakan menaikkan harga BBM diperkirakan memiliki efek domino yang berkelanjutan. Inflasi berpotensi meningkat cukup tinggi yang secara langsung berdampak menekan daya beli masyarakat, kondisi ini dikhawatirkan mempengaruhi penurunan daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga semakin melambat kemudian potensi dampak sosial seperti meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan yang secara makro akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional akan menjadi akibat dari kebijakan harga BBM naik. Salah satu dampak yang nyata di lapangan adalah potensi kenaikan harga komoditas pangan karena melonjaknya biaya logistik dan distribusi disebabkan kenaikan BBM.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digelontorkan pemerintah dinilai belum menjadi solusi akibat dampak sosial yang ditimbulkan dari kenaikan BBM. Kekhawatiran banyak pihak terhadap potensi penyelewengan penyaluran BLT ini cukup besar, termasuk meragukan BLT ini akan tepat sasaran dengan penyaluran akurat 100 % mengingat juga data rakyat miskin belum sempurna kemudian berkaca juga pada kasus korupsi dana bansos covid di kemensos yang menjadi ingatan buruk masyarakat betapa rentannya penyaluran BLT ini diselewengkan. Belum lagi kebutuhan konsumsi RT (Rumah Tangga) yang tinggi akibat kenaikan harga barang dan jasa tidak akan mampu ditutupi oleh stimulus BLT yang diberikan pemerintah.

Jika mengklasifikan dampak kenaikan BBM dengan mengkomparasikan stimulus BLT yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan kelompok masyarakat, sebenarnya kita bisa melihat yang pertama rentan berdampak atas kenaikan BBM ini adalah masyarakat kelompok menengah apabila suku bunga kredit konsumsi ikut dinaikkan oleh pemangku fiskal maka masyarakat menengah rentan terdampak signifikan mengingat kelompok ini tidak termasuk penerima BLT yang ditetapkan pemerintah.

Kemudian kelompok masyarakat golongan bawah juga sudah akan merasakan dampak dari kenaikan BBM ini, walaupun masyarakat golongan bawah ini diberikan BLT oleh pemerintah tetapi diprediksi tidak akan berdampak signifikan bagi kestabilan perekonomiannya mengingat efek domino berupa inflasi yang diprdiksi menyentuh angka 8-10 % diikuti harga barang dan jasa yang akan melambung maka berpotensi menekan daya beli masyarakat dan menggangu konsumsi rumah tangga masyarakat kelas bawah.

Adapun kelompok masyarakat kelas atas dinilai tidak akan terdampak langsung terhadap regulasi kenaikan BBM bersubsidi ini karena memang BBM bersubsidi bukan diperuntukan bagi orang mampu atau kelompok masyarakat kelas atas.

Kebijakan pemerintah menaikkan BBM ini dinilai tidak memperhatikan masalah pokok yang turun temurun terhadap industri migas. Selama lebih kurang 20 tahun ini terdapat masalah produksi migas justru harusnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah bagaimana memperbaiki tata kelola produksi migas agar lebih maksimal bukan hanya berfokus pada kebijakan harga subsidi BBM saja.

Harusnya pemerintah juga mulai memprioritaskan pembangunan kilang agar Indonesia tidak lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali dari Singapura.

Jika berkaca dari alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi karena beban APBN yang terlalu berat sebenarnya masih ada opsi yang bisa dilakukan pemerintah tanpa menaikkan harga BBM pada saat ini. Harus ada upaya untuk mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi secara benar dan tepat dengan melakukan kebijakan yang menghentikan kebocoran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran.

Kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaan dan pembatasan pengguna BBM subsidi ini harus menjadi pekerjaan rumah tanpa harus menaikkan harga BBM yang secara langsung negara seperti sedang mengalihkan beban ke masyarakat.

Selain itu masih ada upaya dalam rangka menyelamatkan beban APBN kita dengan memanfaatkan ruang fiskal yaitu dengan memangkas anggaran, meleburkan atau membubarkan lembaga negara yang mubazir, menunda proyek nasional yang belum prioritas menjadi hajat hidup orang banyak seperti IKN dan lain-lain.

Oleh karena itu masih ada kesempatan pemerintah untuk segera merevisi dan mencari solusi lain dengan tidak serta merta harus menaikkan harga BBM bersubsidi dinaikkan sebagaimana yang diperintahkan oleh konstitusi dan pembukaan UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. (***)

Penulis merupakan Direktur Kajian dan Riset Independent Democracy (IDE)

Related posts