Katakata.id – Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kalimat tersebut merupakan isi dari pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin pendidikan bagi setiap warga negaranya. Tak terkecuali warga negara yang merupakan kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Untuk memberikan perlindungan maksimum (maximum protection) terhadap penyandang disabilitas termasuk hak pendidikan, maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-Undang tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1977 tentang Penyandang cacat yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Secara garis besar Disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. setiap manusia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang beragam, pengalaman, dan pengetahuan itu, kemudian dapat membangun prasangka yang dapat dipendam atau dicerminkan melalui tindakan perkataan. Ketika yang timbul adalah prasangka negatif, maka hal tersebut dapat berdampak kepada Tindakan diskriminasi. Bicara mengenai disabilitas sebagai dasar basis diskriminasi, tindakan yang merujuk kepada diskriminatif terhadap penyandang disabilitas atau yang dikenal dengan istilah Ableisme, Ableisme menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok lain. Dengan cara pandang itu, ada pemisahan atas nama sehat-tidak sehat dan normal-tidak normal. Dampaknya, penyandang disabilitas menjadi tereksklusif dan menjauhkannya dari manusia dan sumber daya.
Secara sosial melihat disabilitas disebabkan Adanya hambatan pada penyandang disabilitas karena lingkungan yang tidak memberikannya akses dalam interaksi sosial. Solusi yang diperlukan adalah mengintervensi perubahan pada lingkungan, bukan individu, jadi sudut pandang masyarakatnya yang harus diubah.
Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, dengan menempatkan disabilitas sebagai keragaman manusia. Sudut pandang ini menempatkan kebutuhan lingkungan yang aksesibel sebagai HAM dan menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Dahulu adalah hak negara untuk memberikan aksesibilitas bagi disabilitas, kini hal tersebut menjadi sebuah kewajiban. Dari isu sektoral menjadi isu multisektor. Dari suatu pengkhususan/ eksklusif, menjadi inklusif. Lingkungan yang diubah menjadi menerima disabilitas,
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Untuk memenuhi amanah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas.
Pendidikan inklusi adalah sebuah metode pengajaran yang menyediakan akses pendidikan untuk penyandang disabilitas di sekolah umum. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebuah lingkungan yang sama dengan orang lain. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada disekolah. Kebutuhan setiap anak berkebutuhan khusus dapat tercapai manakala penyusunan kurikulum tepat, perjalanan proses yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang cocok, pemanfaatan sumber belajar secara maksimal, dan kerjasama yang selaras dengan pihak keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar.
Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak, yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu hendaknya memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak. Untuk mencapai potensi setiap anak, sistem pendidikan perlu dirancang dengan mempertimbangkan perbedaan yang ada pada diri anak berkebutuhan khusus.
Faktanya sudah ada beberapa sekolah regular yang menerapkan terkait pendidikan inklusi ini, namun memang masih banyak kendala yang dihadapi dilapangan. Diantaranya masih banyak masyarakat yang masih belum mengetahui dan memahami terkait konsep pendidikan ini, kurangnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan bagi penyandang disabilitas, terbatasnya juga sumber daya manusia yang kompeten untuk menjadi guru pendamping yang memahami terkait kondisi anak didik penyandang disabilitas untuk pendidikan inklusi juga dibutuhkan sarana prarana dalam pelaksanaan pendidikan inklusi disekolah regular.
Pada hakekatnya semua sarana prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Seharusnya hal sedemikian dapat segera diatasi oleh pihak-pihak yang berkewajiban dibidang pendidikan terkhusus pendidikan inklusi ini, terutama pemerintah daerah yang sudah diberikan kewenangan dan terkhusus kepada pihak Dinas Pendidikan agar dapat bersinergi lebih untuk mencari solusi dari hambatan yang dialami dalam pelaksanaan pendidikan khusus.
Untuk sosialisasi kedepannya diharapkan lebih digencarkan lagi tidak hanya untuk pihak-pihak sekolah saja namun untuk orangtua/wali dari siswa-siswi baik yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak agar mengetahui terkait konsep pendidikan ini, untuk proses pendidikannya juga kedepannya tidak hanya dikota saja namun bisa menjangkau hinga ke desa-desa diseluruh penjuru Indonesia. Karena sejatinya pendidikan itu penting sebagai bentuk nyata dari proses pencerdasan generasi bangsa yang kedepannya akan menjadi aktor-aktor penting dalam pembangun Indonesia kedepan.
Terkait untuk tenaga pendidik khusus juga menjadi perhatian penting yang harus terus diperhatikan, karena memang guru merupakan aktor penting dalam proses belajar mengajar dan menjadi cerminan dari siswa-siswi yang diajarnya. Tenaga pendidik khusus ini juga diharapkan mereka yang paham dan memahami terkait karakteristik kebutuhan anak yang mereka dampingi dalam proses belajar mengajar, agar tujuan dari pendidikan khusus ini tepat sasaran. Yang terakhir tetapi tak kalah penting adalah sarana prasarana, sebenarnya terkait sarana prasarana ini bukan sesuatu yang menjadi rahasia lagi.
Bahwa memang untuk sekelas sekolah reguler saja terkadang sarana prasarananya masih ada yang kurang memadai namun memang untuk pendidikan khusus ini sarana prasarana juga tak kalah penting, dikarenakan mereka yang akan bergabung adalah anak-anak yang istimewa yang pasti kebutuhannya berbeda dengan mereka yang biasa.
Terkhusus sarana prasarana ini juga menyesuaikan terkait kebutuhan anak tersebut, seperti contohnya saja untuk prasarana khusus peserta didik tunagrahita/anak lamban belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan asesmen, konsultasi, latihan sensori, bina diri, remedial teaching, latihan perseptual, keterampilan, dan penyimpanan alat. Dan pastinya masih banyak lagi terkait sarana prasarana ini karena beda keistimewaannya berbeda pula kebutuhan sarana dan prasarananya.
Pemerintah telah memiliki regulasi yang kuat mengenai disabilitas. Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana regulasi tersebut diterapkan dan dianggarkan. “Mengubah sudut pandang keseluruhan masyarakat terhadap penyandang disabilitas merupakan kunci sukses dalam menjalankan pendekatan inklusif bagi penyandang disabilitas pada berbagai sektor, karena inklusif tidak hanya sekedar menggabungkan penyandang disabilitas dengan orang normal pada satu tempat saja, perlu pendekatan keadilan bahkan ideal.
Semoga kedepannya pemerintah dapat mengatasi hambatan-hambatan yang ada tersebut. Dengan salah satunya mewujudkan Anggaran yang sejatinya sudah diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga amanat tersebut dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan dan dicita-citakan. Serta anak penyandang disabilitas dapat memperoleh hak pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. (**)
Penulis merupakan peneliti perkumpulan Independen Demokrasi (IDE)