Oleh: Muhamad Yazid Fauzi
Katakata.id – Waktu bekerja pada salah satu universitas di Pekanbaru saya pernah ditegur (lebih tepatnya kena marah) oleh salah satu dosen. Musababnya, karena tidak menyematkan gelar (Hajjah) di antara deretan namanya.
Tentu saja saya kaget, hemat saya gelar haji atau hajah tak perlu disematkan ketika berada di lingkungan akademis. Namun dosen tersebut mempunyai pandangan berbeda, menurutnya bahwa ia sudah berusaha susah payah dan mengeluarkan banyak uang untuk menunaikan rukun islam yang kelima tersebut.
Jika kita tarik ke belakang pemberian gelar haji adalah metode yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan kontrol terhadap gerakan masyarakat. Khususnya seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji.
Menurut Hasanah dan Budianto dalam Jurnal Candi, terjadi dinamika perkembangan pengaturan ibadah haji pada tahun 1858. Hal ini dilakukan karena ketakutan pemerintah Belanda terhadap gerakan-gerakan masyarakat yang di inisiasi oleh orang yang kembali dari ibada haji.
Jika di luar kampus sudah menjadi kebiasaan umum orang orang menyematkan gelar berderet-deret pada spanduk, undangan dan latar belakang sebuah panggung dan banyak media lain. Saya jadi ingat beberapa status facebook akademisi low profile Abdul Gaffar Karim, dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM yang tidak pernah menyematkan gelar akademis. Padahal ia jebolan universitas ternama dalam dan luar negeri.
Kembali pada persoalan gelar haji, era kepemimpinan Gubernur Jendral Duymaer Van Twist diberlakukan beberapa aturan. Jamaah haji wajib memiliki pas jalan, wajib memiliki dan menunjukan uang yang cukup untuk biaya perjalanan, setelah kembali dari ibadah haji wajib mengikuti ujian dari bupati/kepala daerah jika lulus maka akan diberikan gelar haji.
Namun ada juga pendapat lain, pemberian gelar haji di nusantara sudah dilakukan sebelum belanda melakukan ordonasi penyelenggaraan ibadah haji. Dapat dijumpai gelar haji juga digunakan oleh para bangsawan atau tokoh agama.
Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji tahun 1827 dari Kerajaan Lingga dari tanah jawa ada tokoh Haji Wangsakara dari Kerajaan Banten yang menolak kolonialisme.
Terlepas dari perdebatan haji merupakan warisan kolonial atau warisan budaya nusantara. Substansi ibadah haji adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Ah, buat apa berfikir berat-berat. Sebagai buruh rendahan di kampus tersebut, saya tidak mau memperpanjang perdebatan. Saya ubah deretan nama dan gelar dengan menyematkan gelar (Hj).(***)
Penulis merupakan Dosen Pengembangan Masyarakat Islam STAI Nurul Falah