Oleh: Novi Yanti
Satu tahun lebih sudah Pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, semenjak dinyatakan Virus Covid-19 tersebut masuk ke Indonesia pada bulan Maret 2020 hingga saat ini penyebarannya terus meningkat. dengan penyebaran Covid-19 yang makin merajalela, merata hampir seluruh daerah di Indonesia, menimbulkan akibat yang begitu besar, salah satunya berakibat kepada kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Sesuai kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah di masing-masing wilayah menyatakan bahwa meniadakan kegiatan belajar mengajar tatap muka seperti keadaan negara normal. akan tetapi, seluruh kegiatan belajar mengajar dilakukan secara online atau dengan sebutan “Daring”.
Daring menjadi salah satu solusi bagi dunia pendidikan pada masa pandemi, namun di sisi lain daring juga menimbulkan masalah bagi beberapa guru dan anak didik. sebelumnya perlu diketahui Daring merupakan singkatan atau akronim dari “dalam jaringan”, atau dengan kata lain daring merujuk kepada istilah online. Kegiatan daring dapat dilakukan melalui komputer, laptop, tablet, hingga smartphone yang telah terhubung ke internet.
Ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan dari kegiatan belajar mengajar secara daring. Pertama, tidak semua anak didik memiliki alat teknologi yang digunakan untuk belajar secara daring, seperti komputer, laptop, tablet, ataupun smartphone. Kedua, tidak semua anak didik memiliki akses jaringan yang bagus untuk mengikuti belajar secara daring, karena masih banyak anak didik yang tinggal di daerah pedalaman seperti di kebun, ladang, ataupun di seberang sungai panjang, yang biasanya untuk bisa belajar tatap muka dan datang ke sekolah harus menghabiskan waktu beberapa jam, kondisi tersebut sudah cukup membuat anak didik kelelahan, apalagi dituntut untuk belajar secara online, bukan tidak mungkin anak didik menyerah dan memilih putus sekolah. Ketiga, tidak seluruh tenaga pendidik dan anak didik memahami secara benar mengenai sistem kegiatan belajar mengajar secara daring, sehingga banyak anak didik mengeluh atas tugas yang diberikan guru terlalu banyak dan sulit, akibatnya anak didik menjadi malas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru tersebut.
Menilik lebih dalam permasalahan ketiga, yang mana hal tersebut menjadi permasalahan yang cukup banyak terjadi dan menjadi kendala serius dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara daring. terdapat kondisi di mana guru yang mengampu suatu mata pelajaran membuat sebuah grup chat di aplikasi WhatsApp (Grup WA). Grup WA tersebut menjadi fasilitator antara Guru dan anak didik untuk saling berkomunikasi selayaknya kegiatan belajar mengajar tatap muka di ruang kelas. Sebut saja Grup WA adalah ruang kelasnya. di dalam grup tersebut Guru biasanya mengirimkan tugas berupa file dalam format pdf dengan berukuran besar yang menyita memori penyimpanan yang besar juga, ada juga guru yang mengirim tugas atau arahan dalam bentuk catatan tangan kemudian difoto ataupun dalam bentuk screen capture (SC) kemudian dikirim ke grup, dan yang paling ekstra adalah mengirim link untuk mengunduh sebuah aplikasi mata pelajaran di app store atau play store.
Beragam sikap yang ditunjukan anak didik dalam menanggapi kehadiran grup WA. bagi anak didik di Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) grup WA menjadi menyenangkan karena bisa berkomunikasi dengan sesama anak didik maupun antara guru dan anak didik. bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi didalam grup adalah bahasa yang baik dan sopan, mengingat bahwa anak didik berada dalam usia normalnya 16 hingga 19 tahun, yang mana memasuki fase akhir remaja menuju dewasa. di usia tersebut sudah bisa mengendalikan dorongan emosi yang muncul dan memikirkan konsekuensi yang akan dia hadapi jika melakukan perbuatan yang tidak baik. Ketika seorang guru memberikan tugas yang banyak dan sulit, anak didik bisa menyelesaikan dan mencari solusi, bisa dengan mencari jawaban melalui browsing ataupun bekerja sama dengan teman (kerja kelompok).
Sedangkan, grup WA menjadi tidak terkendali ketika grup tersebut digunakan oleh anak didik di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP), terutama anak didik di kelas 7 (tujuh), mengingat bahwa anak didik tersebut masih menyesuaikan diri, yaitu transisi dari Sekolah Dasar (sd) ke SLTA atau dari masa anak-anak ke masa remaja awal. kondisi tersebut pada umumnya anak didik sudah mulai dapat berpikir dengan logika meski kerap di dorong oleh perasaannya, namun lebih banyak didominasi oleh perasaan, sehingga sering kali anak didik menggunakan kata-kata yang kurang sopan ketika berkomunikasi di dalam grup, anak didik cenderung tidak bisa membedakan bahasa yang digunakan kepada teman dengan bahasa yang digunakan kepada gurunya.
Ketika guru memberikan tugas yang banyak dan menginstruksikan anak didik untuk mengerjakannya secara beruntun serta tidak berhenti-henti, membuat anak didik mendumel dan mengumpat , tidak jarang umpatan tersebut bukan hanya dilontarkan secara lisan yang diarahkan ke layar smartphone, akan tetapi juga diketik dan dikirim ke grup chat. Sehingga, untuk guru yang membaca pesan umpatan yang dikirim oleh anak didik tersebut menjadi kesal dan menjadikan grup chat menjadi ajang balas dendam dan mengeluarkan anak didik tersebut keluar dari Grup WA. Kemudian anak tersebut mulai diberi label “kurang sopan”, “kurang ajar”, hingga “tidak punya sopan santun”. Kejadian tersebut begitu membekas di diri anak sebagai pelaku, dikarenakan rekam jejak digital sangat berbahaya dibanding lainnya. Anak tersebut akan dihantui oleh bukti SS yang dibuat oleh anak didik lain dan menjadi bahan bulliyan.
Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dari guru, terutama tenaga pendidik di SLTP agar lebih memperhatikan tugas yang diberikan harus sesuai dengan kemampuan anak didik, agar tidak menimbulkan kekesalan dari anak didik tersebut. Di sisi lain, perlu adanya pengawasan dari orang tua agar bisa menjadi alarm bagi anak agar bisa menggunakan kalimat dan kata-kata yang sopan di dalam grup WA. Dan yang terpenting adalah pemerintah ataupun pihak yang berhak mengatasi permasalahan tersebut harus bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih mendukung kegiatan belajar mengajar secara daring baik dari sisi pengawasan terhadap guru dalam memberikan tugas kepada anak didik serta menindak tegas bagi oknum guru yang hanya memanfaatkan kegiatan belajar mengajar secara daring hanya untuk melaksanakan tugas guru yaitu pengajar (memberi pelajaran), tetapi jauh lebih penting adalah tugas guru yaitu pendidik, yang mana mendidik anak didik agar memiliki kepribadian yang baik serta akhlak yang mulia.
Penulis merupakan Pegiat Organisasi Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Riau.