Oleh: Triandi Bimankalid S.H., M.H, Dewan Pembina Independen Demokrasi
Katakata.id – Dihapuskannya Presidential Threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 dengan menyatakan bahwa norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan Hukum yang mengikat atau dapat dimaknai bahwa tidak ada lagi ketentuan terkait Persyaratan Pendukungan terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang membutuhkan sebesar 20% suara sah nasional atau 25% kursi DPR.
Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, Undang-Undang yang paling sering diuji adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dimana Mahkamah Konstitusi telah memutus sebanyak 152 perkara sampai dengan 13 November 2024, Dari UU Nomor 7 Tahun 2017, ketentuan yang paling sering diuji adalah Pasal 222 mengenai Presidential Threshold ini. sudah ada 35 perkara yang dihadapkan kepada MK untuk meninjau Pasal 222. Hal ini menjadikan Pasal 222 menjadi ketentuan di dalam undang-undang yang paling sering diuji sepanjang sejarah MK berdiri. Melihat fakta tersebut, dapat dilihat bagaimana para Pengamat Hukum Tata Negara Khususnya Hukum Pemilu dan Pemilihan menilai ketentuan Pasal 222 memiliki persoalan konstitusional sekaligus permasalahan sosial-politik yang mengganggu proses demokratisasi di Indonesia.
Presidential Threshold Tidak Efektif dan Tidak Sesuai Konstitusi
Penerapan presidential threshold telah terbukti tidak efektif dalam menciptakan pemerintahan yang stabil, sebagaimana ditunjukkan oleh data pemilu 2019 di mana koalisi pemenang (55,5%) tidak jauh berbeda dengan koalisi oposisi (44,5%), menunjukkan polarisasi politik yang tajam meskipun ada penerapan threshold. Bahwa presidential threshold justru mendorong pembentukan koalisi pragmatis yang tidak berbasis ideologi, seperti terlihat dari fenomena “koalisi gemuk” pada pemilu 2019 di mana partai politik berkoalisi hanya untuk memenuhi syarat pencalonan presiden, bukan atas dasar kesamaan visi dan misi. Begitu Juga Pada Pemilu 2024, coattail effect yang diharapkan dari penerapan Presidential Threshold tidak terjadi, Pertama, Prabowo-Gibran memenangi pemilihan presiden dengan 58,6% suara, namun partai pendukung utamanya (Gerindra) hanya memperoleh 17,0% suara DPR, Kedua, Anies-Muhaimin meraih 24,9% suara dalam pilpres, sementara partai pendukung utamanya (PKS dan PKB) hanya memperoleh total 15,0% suara DPR (PKS 8,2% dan PKB 6,8%). Ketiga, Ganjar-Mahfud memperoleh 16,5% suara pilpres, sedangkan PDIP sebagai partai pengusung utama hanya meraih 16,7% suara DPR, menunjukkan minimnya pengaruh pencalonan presiden terhadap perolehan suara partai, di mana popularitas calon presiden seharusnya memberikan dampak positif terhadap perolehan suara partai pendukungnya di pemilihan legislative (Cottail Effect).
Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) tidak dikehendaki oleh perumus konstitusi yakni Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa menyebutkan adanya batasan persentase tertentu. dan tidak memiliki landasan akademik yang kuat terlebih lagi karena pemilu telah dilaksanakan secara serentak. pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilu anggota DPR. Dengan fakta tersebut, hasil perolehan suara anggota DPR akan bersamaan dengan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
Presidential Threshold : Tidak Relevan
Demikian juga jika menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya sebagai ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), maka persoalan yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa partai politik peserta pemilu anggota DPR sebelumnya tetap mampu memiliki kursi atau suara sah secara nasional atau paling tidak sama dengan capaian jumlah kursi atau suara sah secara nasional pada pemilu periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung.
Bahkan, dalam batas penalaran yang wajar, dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR periode sebelumnya terbuka kemungkinan partai politik pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak mampu lagi menjadi peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung. Semua persoalan tersebut berpeluang terjadi karena dinamika politik dari satu periode pemilu ke pemilu periode berikutnya dapat berubah secara drastis. Sehingga, sulit mempertahankan rasionalitas hasil pemilu anggota DPR sebelumnya sebagai dasar untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung. Artinya, secara sederhana, misalnya apabila diletakkan dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2029, bagaimana mempertahankan rasionalitas hasil pemilu anggota DPR 2024 tetap valid digunakan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2029. Terlebih, secara faktual, keberadaan norma ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) telah ternyata tidak terkait langsung dengan upaya melakukan penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.
Penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest).
Sepanjang partai politik sudah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, partai politik dimaksud memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik. Setiap partai politik pasti bertujuan mengusung kadernya untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Karena memang itulah hakikat lahirnya partai politik untuk mengusung kadernya sebagai pemimpin nasional. Faktanya, dengan adanya presidential threshold partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20%, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar, terkait keputusan tentang calon yang akan diusung. Pilihannya hanya satu: Merapat atau bergabung.
Dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.
Tantangan Kedepan
Selanjutnya Agenda yang mesti dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR selaku Pemegang Kuasa dalam membentuk Undang-undang adalah melakukan Revisi Undang-Undang Pemilu, tegas bahwa tidak ada lagi pembedaan Rezim antara Pemilu dengan Pemilihan (Pilkada) yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022. Maka terkait Pengaturan Presidential Threshold tidak boleh lagi muncul, bahkan perlu juga menjadi diskursus dalam tataran Akademik, apakah hal pengaturan tersebut juga dapat diberlakukan terhadap Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah dari Perspektif Penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah Saat ini?. Perlu ada suatu Penyatuan Pengaturan dikarenakan realitas saat ini, Pengaturan Pemilu (Undang-undang Nomor 7 tahun 2017) dan Pengaturan Pemilihan Kepala Daerah/Pemilihan (Sebagaimana diubah terakhir Undang-Undang Nomor 6 tahun 2020) masih berbeda, sehingga dengan adanya Penyatuan berdampak pada keutuhan Pemahaman Seluruh komponen Masyarakat dan terus membaiknya Pembangunan Sistem Pemilu dan Demokrasi kedepannya. (***)