Katakata.id – Paradigma menaja diskusi “Pasca COP 28, apa peluang dan tantangan untuk Riau” 10 Januari lalu di Rumah Paradigma. Pasca selesainya Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa atau Conference of the Parties (COP) di Dubai 13 Desember lalu.
Menghasilkan beberapa hal, yakni transisi energi fosil serta perdagangan karbon dan dana kerugian dan kerusakan. Dana ini merupakan dana yang akan disalurkan untuk mitigasi dan adaptasi negara rentan yang terkena dampak krisis iklim. Hingga akhir acara terkumpul US$ 800 juta yang akan dikelola dan disalurkan lewat bank dunia.
Pertemuan ini mempertegas komitmen mitigasi iklim dari perjanjian Paris 2015 lalu, yang bersepakat untuk menekan suhu bumi tidak sampai 1,5 derajat. Namun kritik dari ilmuwan Brasil Carlos Nobre, masih sulit harapkan komitmen 197 negara untuk percepat transisi energi fosil sebab ditopang dana subsidi sebanyak US$ 7,2 triliun, penyumbang 17% PDB global dan kuat secara politik dan ekonomi.
Diskusi perubahan iklim ini dipandu oleh Susanto Kuniawan, pembicara dimulai dari pembicaraan konteks kelimuan, update COP 28 hingga permaslahan tingkat lokal.
Komitmen seluruh negara semakin tinggi kepeduliannya terhadap cost and damage soal lingkungan dan perubahan iklim dengan nilai yang besar. “Dengan kondisi semacam ini menjadi peluang yang besar untuk Indonesia, berjuang mendapatkan dana besar tersebut. Sebab kita punya modal sebagai salah satu negara penyerap karbon terbesar di dunia,” kata Edfan Darlis Akademisi Unri
Inti dari COP adalah menagih kewajiban negara maju untuk menggelontorkan dana kerugian dan kerusakan. Intinya Ada tiga poin yang dibahas di COP 28 lalu yaitu meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan. Lalu Menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan karbon.
Di Indonesia, pasca Perjanjian Paris sudah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Undang Undang yang mengesahkan persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
“Komitmen Indonesia berusaha menurunkan emisi dari berbagai sektor, pelestarian hutan, peningkatan energi terbarukan dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari.
“Kabar baiknya Indonesia sudah melaporkan capaian Nationally Determined Contributions melalui United Nation Climate Change dengan sangat baik. Tetapi lobi untuk dapatkan pendanaan yang besar tersebut Indonesia lemah,” kata Made.
Selanjutnya Riko dari Paradigma. Paradigma pembangunan Indonesia masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi sektor industri ekstraktif.
“Kini, setelah kita punya Undang Undang Nomor 16 tahun 2016 yang memaksa negara maju dan berkembang menahan laju perubahan iklim. Indonesia sebagai negara berkembang dan punya hutan untuk menyerap karbon harsunya mengambil peran lebih. Dengan memanfaatkan kawasan hutan dan lahan yang terjaga harusnya melakukan green economic dan blue carbon. Agar Indonesia dapat peran menjaga lingkungan dan lobi keras dana cost and damage dari negara maju itu,” jelas Riko Kurniawan Direktur Paradigma.
Untuk Provinsi Riau, Boy Even Jerry Sembiring Direktur Walhi Riau mengatakan, Pemda hanya ikut program pusat belum mampu aplikasikan secara penuh hingga tingkat tapak.
“Yang lebih cepat geraknya malah CSO. Provinsi harus mendorong sinergitas di level kabupaten untuk mengakselerasi capaian,” ujar Boy.
Selanjutnya, Nur Samsu Koordinator Eyes on the Forest mengatakan 4 juta kawasan hutan di Riau dikuasai oleh korporasi besar. Hanya kecil yang mempunyai izin legal hingga terbit Hak Guna Usaha selebihnya diolah dan produksi secara illegal.
“Jika ingin mencapai NDC yang besar lagi untuk mendukung penuh laju perubahan iklim maka lahan mereka patut dievaluasi dan dicabut untuk diserahkan kepada masyarakat lokal dan tempatan dengan skema Perhutanan Sosial,” kata Nur Samsu.
Pada akhir diskusi Riko dari Paradigma memotong tumpeng tanda diresmikan Rumah Paradigma. Paradigma terbentuk karena kolaboratif, kolaborasi ini yang akan menyelesaikan permasalahan lingkungan, ekonomi dan masyarakat adat di Riau.
“Paradigma terbuka untuk siapa saja, sama-sama kita berkolaborasi, mengkaji isu dan melakukan aksi,” tutup Riko. (Rls)