PADA hari Selasa (7/1/2020) kemarin Pemerintah Provinsi Riau melakukan perombakan/mutasi pada jajaran pejabat Eselon III dan IV. Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), hal ini merupakan salah satu pelaksanaan dari kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat yang adil dan makmur. Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai alat pemerintah memiliki keberadaan yang sentral dalam membawa komponen kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional.
Sebenarnya, mutasi dan promosi pejabat merupakan hal yang biasa dalam dunia pemerintahan. Pelaksanaan mutasi jabatan sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan organisasi dan dilaksanakan untuk mengurangi rasa bosan terhadap pekerjaan serta meningkatkan motivasi dan semangat kerja. Selain itu juga untuk menempatkan pejabat sesuai dengan keahlian dalam bidang tugasnya masing-masing. Sedangkan promosi dilaksanakan dalam rangka mengisi jabatan yang kosong atau pimpinan menganggap calon pejabat tersebut sudah mampu/cakap dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kembali pada persoalan mutasi dan promosi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau, Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution menyinggung soal posisi jabatan “Mata Air” dan jabatan “Air Mata”. Istilah tersebut merujuk pada OPD yang memiliki anggaran besar dan OPD yang anggarannya sangat minim. Ini juga menarik perhatian kita, karena selama ini banyak pejabat masuk dalam jerat tindak pidana korupsi karena mengejar posisi jabatan “mata air”. Sebut saja ASN yang menjadi tersangka pada proyek Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Integritas yang diresmikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Pihak Kejati Riau menetapkan tersangka, dan di antaranya adalah ASN. Tentu kita berharap kejadian serupa tidak terulang kembali.
Hal yang menarik perhatian juga adalah dilantiknya beberapa “orang dekat” Gubernur Riau dan Sekretaris Daerah Provinsi Riau. Sebenarnya tidak ada aturan yang melarang seorang Pejabat Publik melantik menantu, istri, ataupun saudara menjadi pejabat struktural. Namun, ada etika yang harus dijaga oleh seorang pemimpin, guna meredam asumsi-asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat.
Ketika masyarakat menganggap pemimpin memaksakan syahwat politiknya, maka tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan menurun. Jika tingkat kepercayaan masyarakat menurun, maka akan mempengaruhi segala aspek pembangunan di Provinsi Riau.
Yang pasti Gubernur Riau dan jajarannya harus bertanggung jawab kepada publik, apabila orang-orang terdekatnya hanya “numpang nama” saja. Apalagi, masih banyak publik yang belum mengetahui kinerja dan latar belakang orang-orang terdekatnya itu.
Riau dengan segala potensi yang dimiliki, harus dikelola oleh pemerintahan yang jujur dan profesional. Demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.**
Penulis: Setyo Irawan, S.IP