Oleh: Alfikri SH MH
Katakata.id – Terhitung sejak 1 September 2022 yang lalu, Pemerintah kota Pekanbaru secara resmi telah menaikan tarif layanan parkir. Kabar ini tidaklah mengejutkan. Pemerintah kota Pekanbaru sudah menyiapkan segala instrumen pendukung pelaksana Perwako tersebut. Mulai perubahan tarif pada papan pengumuman dibeberapa lokasi, karcis parkir sudah tercetak dan tentunya para petugas parkir yang siap siaga. Kenaikan tarif jasa layanan parkir tepi jalan umum di Kota Pekanbaru, naik masing-masing dengan tarif Rp1.000 untuk kendaraan roda dua dan empat. Sedangkan untuk kendaraan roda enam atau lebih masih tetap dengan tarif lama yakni Rp10.000.
Kenaikan tarif jasa layanan parkir tersebut dapat dilihat dalam Peraturan Walikota (Perwako) Pekanbaru Nomor 41 tahun 2022 tentang Perubahan atas Perwako Pekanbaru Nomor 48 tahun 2020 tentang Tarif Layanan Parkir Pada UPT Perparkiran Dishub Kota Pekanbaru sebagai Badan Layanan Umum Daerah. Yang menarik dari hadirnya Perwako ini adalah adanya sangkalan dari Pj Walikota bahwa kebijakan ini sudah ada pada Walikota Pekanbaru sebelumnya. Hal ini diperkuat pada beberapa keterangan pers yang dilakukan oleh Pj Walikota.
Naiknya tarif jasa layanan parkir ini bukan tanpa sebab. Jika kita telusuri pernyataan pihak Dinas Perhubungan di beberapa media online, ada beberapa alasan mengapa perlu dinaikkan tarif jasa layanan parkir. Kepala Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru yang menyatakan bahwa kenaikan tarif layanan parkir ini sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Pihaknya mengaku sudah komunikasi dengan semua pihak terkait. Jelas saja bahwa aturannya dirubah terlebih dahulu, kemudian disampaikan sudah sesuai aturan. Tidak lain untuk membenarkan tindakannya. Tidak terkecuali juga jika ingin memungut sesuatu dari rakyat, juga harus ada dasar dalam melakukan pengutan tersebut.
Lebih lanjut bahwa yang bersangkutan juga menyatakan bahwa pihaknya juga sudah dilakukan kajian dan telah dibawa dalam Forum Group Discussion (FGD) yang melibatkan sejumlah pihak terkait. Mulai dari DPRD Pekanbaru, Akademisi, Konsultan, Forum Lalulintas Pekanbaru dan juga perwakilan mahasiswa. Kajian juga telah dilaksanakan melalui rangkaian tahapan kajian hingga diskusi publik.
Pernyataan ini mungkin dapat dibenarkan, namun penulis dan teman paguyuban di Yogyakarta pernah menyelenggarakan diskusi webinar via zoom yang bertajuk “Perda Parkir Perda Titipan?” salah satu narasumbernya adalah dari Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru, namun ketika diskusi terlaksana, Pihak Dinas Perhubungan tidak hadir. Sangkalan lainnya terhadap pernyataan telah dilaksanakannya kajian dan dibawa dalam FGD yang melibatkan sejumlah pihak, apakah sejumlah pihak dalam diskusi tersebut sepakat mendukung kenaikan tarif layanan parkir di kota Pekanbaru? Tentu patut dipertanyakan.
Ada lagi klaim yang menyatakan bahwa kenaikan tarif layanan parkir tepi jalan umum yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. Klaim ini barangkali dapat diuji kembali dengan melakukan studi lapangan terhadap keadaan ekonomi yang di alami masyarakat saat ini. Untuk kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas barangkali hal ini tidak masalah, akan tetapi untuk kalangan ekonomi menengah kebawah belum tentu dimaklumi.
Kegiatan parkir memang menjadi salah satu sumber peningkatan pendapatan daerah dimana kegiatan parkir akan menghasilkan pajak atau retribusi yang nantinya akan masuk ke dalam kas daerah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Daerah. Namun beragam permasalahan tata kelola parkir pun belum dibenahi dengan baik. Mulai dari pertengkaran antara petugas parkir dengan masyarakat yang komplain terkait dengan karcis parkir yang tidak ada. Dan juga petugas parkir liar yang banyak menjamur tanpa adanya pengawasan. Indikator kenaikan tarif jasa layanan parkir tersebut juga tidak dijelaskan secara rinci.
Apakah masyarakat yang terparkir kendaraannya beli minuman seharga ribuan tetap kena parkir? Apakah masyarakat yang bolak balik belanja ke warung tetap kena parkir berkali kali juga? Bagaimana pendistribusian dan transparansi dari dana tarif jasa layanan parkir antara pemerintah dan pihak ketiga yang mengelola?
Maka dari itu, tegasnya menurut penulis bahwa pembentukan Perwako tersebut tidak mencerminkan produk hukum yang berkarakter responsif yang proses pembuatannya tidak melibatkan dan menyerap partisipasi masyarakat. Karena aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat merupakan salah satu alasan pembentukan suatu peraturan. Di dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang tidak disebutkan mengenai keberadaan Perwako. Namun bukan berarti keberadaan walikota tanpa alas hukum. Perwako masuk dalam kategori jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Sehingga peraturan perundang-undangan yang dimaksud diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Mengenai partisipasi dalam pembentukan suatu peraturan, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Adapun maksud dari penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat; yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Sehingga pernyataan “hukum yang dibuat untuk menguntungkan si pembuat hukum tersebut” memang tidak dapat dipungkiri. Walaupun secara normatif menyebutkan bahwa tujuan pembentukan perundang-undangan adalah mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan didalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bagaimana tidak bahwa dalam konsep negara hukum, untuk membenarkan (melegalkan) tindakan penyelenggara negara baik ditingkat pusat sampai pada tingkat daerah, harus ada legalitas dalam hal ini peraturan yang melandasinya.(***)
Penulis merupakan Direktur Pro Democracy and Election (PRODEO) dan Organisasi Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (OBH Paham Paham) Riau.