Tan Seri Lasak, Gelar Yang Diberikan Tak Sekadar Pengakuan

Katakata.id – Gelar yang diberikan tak sekadar gelar ataupun pengakuan. Ianya sangat bermakna kepada yang menerima, namun yang namanya gelar bukan diminta atau merampas tapi diberi. Ada juga gelar diberikan karena sebuah indentitas seseorang, ada yang gemo (suka) dan ada pula yang menolaknya, bahkan ketika gelarnya disebut bertumbuk pun dia mau.

Apa pasal?

Dari berbagai sumber yang dibaca, soal gelar di masyarakat Melayu ada tingkatannya. Urutannya mulai dari yang tertinggi hingga ke bawah adalah: Datuk, Datuk Sri, Sri, Tan Sri, Tun.

Ditemukan, dalam tunjuk ajar Melayu pemberian gelar inipun ada syarat umumnya yakni, dipilih dan ditunjuk oleh bersebanyak orang (pantang menunjuk mengajukan diri jadi pemimpin), ada orang banyak yang dipimpin (pantang mendahulukan diri sendiri), ada wilayah tempat memimpin (pantang memimpin di wilayah orang lain), ukuran alur dan patut menjadi pemimpin (pantang menghejan tuah), bertanggung jawab dan dipercayai
(pantang berbalik belakang).

Dalam tulisan lepas ini, saya tak membahas satu per satu urutan gelar tersebut apalagi dalam naskah-naskah Melayu di Riau (menurut Syaukani -Karim) tidak ditemukan pemberian gelar. Hanya di naskah Melayu di Malaysia yang “berjujai” membahas tentang pemberian gelaran itu.

Mari kita fokus pada gelar Tan Seri atau Tan Sri. Sebagian besar warga negara Indonesia yang berada di Malaysia, gelar Tan Sri ini jadi bahan mengheyih (olok-olokan). Mereka memaknai gelar Tan Sri sebagai singkatan dari Datang Tanpa Isteri. Gelar ini khusus kepada WNI yang bertandang ke Malaysia (kompasiana).

Di Riau, gelar Tan Seri konon sudah ada yang menyandangnya. Dan habatnya, sekaligus menyingkap kebodohan serta ketidaktahuan terhadap adat, gelar ini bukan diberi tapi dibuat sendiri. Lebih sadisnya, gelar ini karena dia pemimpin agung (agong) kemudian ditabalkan oleh perantau. Sungguh berbeda dan bertolak belakang dengan pemberian gelar Tan Sri di Malaysia. Gelar ini diberikan oleh Yang Dipertuan Agong atau Raja Malaysia kepada seseorang. Biasanya, gelar ini bersempena dengan ulang tahun sang raja, dan raja lah yang menabalkannya. Pemberian gelar ini pun tak sekedar diberi, pada umumnya gelar ini diberi karena yang bersangkutan telah berbakti kepada masyarakat Melayu Malaysia, atau ada hubungan baik antar negara sehingga gelar itu diberikan kepada seseorang yang telah berjasa. Intisarinya, gelar karena ada jasa dan gelar itu diberikan bukan dibuat sendiri.

Bagaimana dengan gelar Tan Seri Lasak? Gelar ini diberikan dan ditabalkan oleh Raja Yoserizal Zein, Kadis Kebudayaan Riau, pada saat menutup Pingat Kejohanan Tari Dewan Kesenian Riau (DKR), 21 April 2022 lalu. Pemberian gelar ini spontan tanpa prosesi adat. Tentunya pengakuan gelar ini bukan karena si Lasak berkelebihan jasanya untuk Melayu tapi karena indentitasnya sebagai budak yang lasak. Apa ini sah? Sah tak sah yang jelas gelar Tan Seri Lasak ini diberikan dan bukan dibuat sendiri. Hebatnya, setelah viral gelar Tan Seri di Riau banyak yang mendapat gelar Tan Seri. Di antaranya ada nama Ace (Budak Selatpanjang), karena ahli membuat lampu colok kreasi sehingga dia diberi gelar oleh kawan-kawannya Tan Seri Colok. Ada juga nama Erisman Yahya (Kadiskominfotik) yang diberikan gelar Tan Seri Pengabar oleh Tan Seri Lasak. (Kah…kah…kah…)

Di kampung saya, jika bertemu dengan Bang Usman jangan sesekali dipanggil gelarnya Tan Seri Lebak. Kalau dia tengah naik sepeda terus kita memanggilnya Tan Seri Lebak, dia berhenti mengayuh sepeda dan melughu (mendatangi) orang yang memanggilnya dengan gelar Lebak. Dia sangat tak gemo dipanggil Lebak, kalau budak kecil yang memanggil dia lebak maka bisa merah pipi kena tempeling. Sedangkan jika yang memanggil gelarnya sebaya, maka beradu buku tinju jadinya. Sementara jika yang memanggil Lebak orang lebih tua, Usman pura-pura pekak dan tak memandangnya. Tapi jangan harap Usman mau membantu orangtua yang berniat minta tolong itu dibantunya lantaran sudah memanggilnya Lebak.

Kenapa Usman meradang dipanggil gelarnya, padahal orang sekampung mengenalinya Lebak dan gelar ini melekat karena di kampung saya nama Usman lebih dari tiga orang. Sehingga untuk mempertegas nama Usman yang mana satu hendak ditemui, maka dikasilah gelar. Ketika ditanya Usman mana, dijawablah Usman Lebak. Gelar lebak pada Usman karena kakinya lebak, macam ikan pari. Makanya, setiap hari raya Usman tak pernah beli sepatu, lebih banyak beli sendal. Bahkan, ke sekolahpun Lebak (maaf Usman maksud saya) jarang bersepatu. Kalau dia punya sepatu umur sepatu hanya bertahan sebulan akibat lebak kaki Usman meronta sehingga sepatu pada zaman itu mudah koyak. (**)

Oleh: Taufik Hidayat, S.S.
Alumni FIB Sastra Daerah Unilak

Related posts