Oleh: Robing,S.Hum.,M.I.Kom
Katakata.id – Ditengah perkembangan teknologi dan media yang semakin pesat, dimana produk new media memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi, berbagi, memproduksi konten, hingga menjadi arena ruang diskursif. Ruang bagi makhluk sosial untuk mendiskusikan dan membagikan pandangan dan kepentingan mereka. Namun hal ini kembali menguatkan sebuah fenomena yang disebut “Ad hominem”.
Ad hominem sendiri yang secara harfiaah berarti “ terhadap pribadi”, merujuk pada serangan pribadi terhadap lawan bicara dalam diskusi atau debat dan digunakan untuk menggambarkan argumen yang menyerang karakter atau sifat pribadi seseorang daripada membahas isi substansi argumen itu sendiri. Fenomena ini bukanlah hal yang baru karena sudah terjadi sejak dulu, misalnya dalam politik kuno, di Athena kuno kerap menggunakan ad hominem untuk menyerang karakter atau latar belakang lawan bicara mereka, alih-alih membahas isu secara obyektif.
Para ahli berpendapat bahwa ad hominem adalah sebuah argumen yang cacat dan tidak valid. Dalam argumen ad hominem, lawan bicara diserang secara pribadi, dan bukan argumen atau ide yang dibahas, melenceng dari substansi diskusi serta membuat diskusi menjadi tidak sehat dan tak berjalan konstruktif. Menurut Douglas N. Walton, seorang filosof yang ahli dalam ilmu argumentasi, ad hominem adalah kesalahan argumentasi yang paling umum dan sering terjadi. Walton menegaskan bahwa ad hominem adalah kesalahan argumentasi yang sangat merusak diskusi dan dapat menghambat terciptanya kesepakatan atau keputusan yang baik dan benar.
Adanya produk new media memang memudahkan diskusi publik yang transparan dan terbuka, pun menjadikan fenomena ad hominem ini semakin mengakar dan marak terjadi, bahkan cenderung lebih brutal dan intensif. fenomena ad hominem memang semakin nyata dan terjadi lebih sering di era New Media seperti sekarang. Hal ini terutama disebabkan oleh kemudahan dan kecepatan dalam menyebarkan informasi melalui platform digital, yang memungkinkan orang untuk berbicara di depan audiens yang lebih besar, tanpa harus memperhatikan aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku dalam ruang publik.
Media sosial, misalnya, memberikan platform yang nyaman bagi orang untuk berbicara dan berdebat tentang isu-isu penting. Namun, seringkali orang lebih fokus pada memenangkan argumentasi daripada menemukan solusi terbaik untuk isu tersebut. Akibatnya, diskusi di media sosial sering dipenuhi oleh serangan pribadi dan ad hominem, yang menghalangi debat yang sehat dan konstruktif.
Selain itu, di era New Media, serangan pribadi dan ad hominem sering kali diperkuat oleh fenomena bubble filter atau echo chamber, di mana orang cenderung berkumpul dengan orang-orang yang memiliki pandangan dan keyakinan yang sama dengan mereka. Dalam filter bubble atau echo chamber, orang hanya terpapar pada sudut pandang yang sama, sehingga pandangan dan keyakinan mereka semakin diperkuat dan mereka semakin kebal terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda dari mereka. Hal ini menyebabkan adanya sikap yang sangat polarisasi dalam debat publik, dan menghalangi upaya untuk menemukan solusi terbaik untuk isu yang dihadapi.
Dalam menghadapi fenomena ad hominem di era New Media, penting bagi kita untuk mengembangkan kemampuan untuk memilah informasi dan memilah mana argumen yang konstruktif dan mana yang tidak. Kita juga harus berusaha untuk selalu menjaga kesantunan dan saling menghormati, serta belajar untuk mempertahankan pandangan dan keyakinan kita tanpa harus menyerang karakter atau latar belakang seseorang. Kita perlu memahami bahwa seseorang yang memiliki pandangan yang berbeda bukanlah musuh, tetapi justru menjadi kesempatan untuk melihat persolana dari sudut pandang yang berbeda. Dengan cara ini, kita dapat membantu menciptakan ruang debat publik yang lebih sehat dan konstruktif, di mana isu-isu penting dapat didiskusikan secara bijaksana dan produktif .
Penulis merupakan Dosen Komunikasi Politik, Universitas Bangka Belitung