Katakata.id – Filsuf ternama dalam ilmu politik yakni Plato menyampaikan bahwa politik merupakan “Ide yang keluar dari fikiran kita yang mempresentasikan realitas” dan juga diperkuat dengan pendapat Rene Descartes yang menjelaskan “Ide adalah sesuatu yang menuntun kita menuju arah tertentu”. Dari penjelasan kedua tokoh itu kita bisa menyelam kedalam persoalan krisis politik gagasan yang dihadapi bangsa ini, sejatinya kita harus sadar bahwa persoalan politik tidak hanya sebatas persoalan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan semata.
Namun jauh lebih besar dari itu, yakni sebelum masuk pada percakapan tentang kekuasaan politisi harus terlebih dahulu matang dalam ide dan gagasan sehingga kekuasaan akan diisi dan dijalankan oleh manusia yang siap serta memiliki pemahaman yang cukup terkait gagasan dan ide apa yang perlu dieksekusi dalam rangka menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mensejahtarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilihan umum menjadi salah satu pilar penting demokrasi yang perlu diwarnai dalam ruang partisipasi dan pertarungan gagasan. Kebutuhan akan politik yang substansial pada persoalan dan isu isu kontemporer menuntut banyak perubahan didalamnya. Ruang politik hari ini justru menjauh dari percakapan yang mencerdaskan dan membuat publik optimis akan perubahan dan ruang politik yang senyatanya memberikan dampak terhadap pembangunan dan keberlangsungan pemerintahan kedepan.
Secara sederhana kita bisa memaknai politik gagasan sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk kepentingan siapa dikelola. Maka mau tidak mau siapapun yang menjadi tokoh utama dalam peserta pemilu (partai politik, caleg dan capres), harus mampu membaca landscape politik yang substansial dalam ruang kampanye sehingga kita tidak luput dari percakapan gagasan. Memperkuat gagasan dalam ruang politik tentu memperkuat kembali posisioning partai politik dan para aktor politik untuk ada dibanak para pemilih.
Tantangan partisipasi politik hari ini tentu dipengaruhi oleh gairah publik terhadap ruang politik yang semu dan jauh dari percakapan ilmiah, baik ide maupun gagasan apa yang menjadi pertarungan didalamnya sehingga dialektika dan benturan yang terjadi pada ruang politik idealnya akan bermuara pada kepentingan publik dan kesejahteraan pembangunan. Kita semua seolah gerah dengan isu politik identitas, politik aliran, bahkan politik sudah dinilai sangat transaksional jika melihat realita tingginya money politic.
Politik Aliran Yang Sudah Mengakar dimasyarakat
Tantangan yang perlu dihadapi dalam mewarnai ruang politik dengan gagasan dan ide adalah politik aliran yang tidak lepas dari sejarah panjang dan dinamika politik pasca kemerdekaan yang dipengaruhi oleh fikiran fikiran besar yang membentuk. Politik aliran masih selalu mewarnai dalam setiap pergelaran pemilu, publik disuguhkan terhadap isu dan percakapan yang justru lebih dekat dengan pola konsumsi emosional dibandingkan konten politik yang rasional. Hal ini tentu tercermin dari masih sangat laku nya isu priomordial (ikatan keturunan, daerah asal kelahiran, adat-istiadat, ras, suku, agama dan kepercayaan) meskipun jika dipahami kembali dengan corak masyarakat yang sangat heterogen dan multi etnis tentu hal ini akan sangat sulit untuk dihindari. Melihat pada suguhan informasi, publik seolah menikmati percakapan dan drama terkait kekuasaan semata.
Perbincangan terkait tokoh calon presiden, koalisi partai politik yang senyatanya sangat dinamis untuk berubah tergantung arah angin kepentingan membawanya, serta percakapan mekanisme pemilu yang diperdebatkan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kita semua justru menjauh dari percakapan terkait gagasan dan kebutuhan akan politik yang lebih rasional, seolah pernyataan politik adalah sarana pertarungan gagasan dan ide dalam mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan hanyalah sebatas angan. Kita lupa mewujudkan politik yang riang gembira dimana semua orang mau terlibat dan berpartisipasi karena politik membawa harapan yang diikat dalam gagasan sehingga terjadi transformasi sosial.
Mengapa kemudian politik gagasan selalu tereleminasi dalam kontestasi pemilu.? Tentu jawaban ada pada polarisasi masyarakat yang terlalu terhegemoni oleh percakapan emosional ketimbang rasional. Persoalan terkait politik gagasan ini bukanlah hal yang bisa diurai dengan mudah, ada banyak sudut yang mempertajam politik justru dikonsumsi dengan sentimen dan pemujaan buta terhadap konsep konsep primordialisme. Persoalan ini kemudian juga bisa diselami dengan melihat fenomena lemahnya ideology partai politik. Partai politik dianggap gagal melakukan penetrasi kedalam benak basis konsituen hal ini juga terlihat dari data pemilu yang selalu dinamis diantara partai politik baik dalam aliran ideologi keagamaan maupun aliran nasionalis. Bapak proklamator Indonesia dalam sebuah buku “Pikiran pikiran sokarno muda” melihat aliran politik di Indonesia mengalami dikotomi besar baik dalam haluan Nasionalisme maupun Islamisme pasca tergusurnya Maxisme dalam pertarungan ideologis yang membentuk arus polarisasi partai politik di Indonesia.
Politik riang gembira yang kita pahami justru harus masuk dalam kontestasi pertarungan haluan haluan ideologis menyusun program program menuju kesejahteraan dalam partai politik yang harus merasuk pada kader kader partai yang memahami konsep ide dengan baik. Degradasi ini kemudian yang menjadi satu hal yang tidak bisa dihindari yang menyebabkan percakapan aliran dalam ruang politik masih saja laku untuk kepentingan-kepentingan electoral semata dan menjauh dari tujuan bersama.
Gagasan dan Kategori Pemilih di Indonesia
Nyimas Latifah Letty Aziz Dalam bukunya yang berjudul “Marketing Politik” Antara Pemahaman dan Realitas menjelaskan bahwa kategorisasi pemilih dibagi atas Pemilih Rasional, Pemilih Kritis, Pemilih Tradisional dan Pemilih skeptis. Pemilih tradisional masih menjadi kelompok mayoritas pemilih di Indonesia. Kelompok ini lebih dekat dengan cara memilih yang didasarkan pada kedekatan sosial budaya, nilai, asal usul, paham dan agama sebagai indikator dalam memilih calon pemimpin dan partai politik. Fakta yang tidak bisa dipungkiri pemilih tradisional memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga mudah dimobilisasi dan terbawa dalam isu isu yang justru berada diluar kebutuhannya sebagai warga negara, hal ini disebabkan didalam dirinya justru lebih melekat aspek emosionalnya ketimbang aspek rasionalnya.
Kita harus beralih tidak hanya memahami kategori pemilih saja namun kita juga harus membaca masa depan politik dalam ruang electoral, salah satunya dengan masuk melalui data jumlah pemilih yang dibagi dalam kategori usia. Jumlah pemilih dari kaum millennial dan generasi Z yang terbantang antara usia 17 – 40 tahun (undang-undang 40 tahun 2009 tentang kepemudaan) yang kemudian ada di 60% pemilih nasional jika dihimpun dari berbagai sumber data. Data ini tentu jangan hanya dimaknai secara statistik semata, jumlah yang sukup signifikan ini kemudian harus didorong menjadi kelompok dengan pemilih yang rasional. Yakni pemilih yang cukup selektif dan signifikan memperhatikan gagasan yang dibawa dan bagaimana gagasan tersebut dapat dijalankan. Kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana partai politik hari ini tidak memiliki banyak atensi terhadap pemilih yang rasional karena dianggap jumlah nya yang sedikit jika dibagi dalam segmentasi pemilih. sehingga agenda partai seolah tidak menjadikannya sebagai bagian prioritas selain membicarakan threshold pemilu saja. Stategi dan pemetaan partai politik selalu berbasis politik kekuasaan lebih dominan ketimbang politik gagasan itu sendiri.
Jika membaca pemilu 2024 partai politik harus berubah dan perlu melakukan evolusi terhadap membaca peta pemilih. suara millennial dan generasi Z harus menjadi perhatian utama mengingat jumlahnya yang tidak sedikit. Jika kita membaca hasil survey yang dilakukan oleh libang kompas kita bisa melihat hasil survey yang menerangkan 86,7% pemilih millennial dan generasi Z menyatakan bersedia mengikuti pemilu 2024 dan 52,1% generasi ini memiliki kesan yang positif terhadap parpol. Data ini tentu menajdi sinyal positif bahwa politik kedepan diharapkan lebih dominan membicangkan gagasan ketimbang politik kekuasaan semata.
Generasi millenial dan generasi Z memiliki suasana yang berbeda dengan generasi sebelumnya, karena lebih kritis dan rasional dalam melihat persoalan politik dan dianggap mulai bisa melepaskan ikatan ikatan primordial yang selama ini membelenggu pemilih emosional. Maka saat ini kita juga bisa melihat bagaimana partai politik berupaya menampung dan membuat saluran saluran partainya terhubung terhadap aspirasi dan kebutuhan generasi millennial dan generasi Z. bisa terlihat dari sayap sayap partai menggunakan identitas dan diksi muda sebagai marketing politik mereka.
Paragmatisme dan Krisis literasi Peserta Pemilu (Partai Politik)
Cara pandang terhadap partai politik mengalami degradasi yang cukup signifikan dalam persepsi publik terkhusus dalam hal sebagai sarana munculnya ide dan gagasan untuk kepentingan yang lebih besar yakni publik. Partai politik seolah menjadi tempat yang terisolir bagi kepentingan kelompok semata dan bahkan hari ini partai politik menjadi salah satu tempat yang sunyi akan gagasan besar terkait ide ide pembangunan serta harapan publik. Partai politik seolah menjadi bias dan abu abu terkait ideologi dan keberpihakannya, hal ini tentu tidak dapat dipungkiri dari proses berpartai dan siapa yang mengelola partai politik tersebut yakni para elit partai dan para kader.
Ketika mengutip apa yang disampaikan seorang aktivis yang saat ini menjadi politisi di partai PDI-P yang merupakan partai papan atas dalam klasemen pemilu terkahir, yakni Budiman Sujatmiko menjelaskan “untuk memahami siklus dan sejarah partai politik di Dunia maka muncul sebuah tesis bahwa partai politik didirikan oleh Intelektual, dibesarkan oleh politisi dan dikelola oleh pebisnis/pengusaha.” Hal ini tentu terkonfirmasi dari realitas hari ini bahwa partai politik di Indonesia hampir diseluruh partai yang eksis dengan ideologi apapun sampai hari ini tidak ada yang luput dari keberadaan pengusaha didalamnya. Selain itu proses berpartai hari ini yang seolah menjadi sebagai sarana enterpreurship dengan pola pengelolaan bisnis (kepentingan kelompok) menjadi satu alasan memperlemah ideologi dan keberpihakan partai, karena pada prosesnya partai politik kehilangan budaya politik yang mengedepankan gagasan dan ide ide nya demi kepentingan publik.
Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung