Hak Politik Warga Tersandera

Oleh: Ishak

Katakata.id – Pada saat isu Pemilu, Pileg, dan Pilkada memasuki ruang-ruang diseluruh pelosok negeri, masyarakat di pedesaan pada sibuk membicarakan kegiatan anggota dewan in-cumbent yang telah dan akan turun gunung dengan membawa berbagai macam paket, diantaranya: 1). Paket bantuan sembako, seperti beras 5 kg, minyak goreng, gula, dan lain sebagainya. 2). Paket bantuan kelompok tani, berupa bantuan bibit, pupuk, perawatan, bahkan janji pemasaran produk, dll. 3). Paket bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH), bedah rumah, serta paket-paket lainnya.

Hampir semua anggota dewan memanfaatkan momentum singkat ditahun ke-4 menjelang tahun ke 5 sebagai anggota dewan untuk turun ke masyarakat, khususnya ke daerah-daerah pemilihan (Dapil) mereka masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa turunnya para anggota dewan ini ke desa-desa (dapil) pada umumnya “dibiayai oleh negara” yang kita kenal sebagai dana reses dan dana pokok-pokok pikiran (pokir) anggota dewan.

Fenomena Incumbentcy

Dari fenomena dan fakta politik diatas, terdapat dua aktor yang pantas dan harus dielaborasi secara scientific, yaitu: Aktor pertama, mereka adalah para anggota legislatif yang biasa disebut politisi (Anggota DPR-RI/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten dan Kota) yang penuh gairah dan bersemangat turun ke dapilnya masing-masing.

Kegiatan yang dilakukan oleh para anggota dewan sebutan yang lazim ditengah-tengah masyarakat ini sarat akan muatan, diantaranya: menggugah daya ingat masyarakat (pemilih) akan nama anggota dewan, nama partai, kepribadian, sikap dan perilaku, serta kebaikan. Diduga atau dimaksudkan untuk membantu masyarakat pemilih mengatasi dan memecahkan masalah-masalah ekonomi dan kehidupan.

Anggota dewan incumbent tidak perlu lagi merogoh saku untuk membiayai kegiatan turun ke desa-desa dapilnya. Dari perspektif ilmu komunikasi, semakin singkat jarak waktu kegiatan politik, sosial dan ekonomi dengan momentum pemilu, maka semakin segar diingatan para penerima manfaat akan identitas pemberi manfaat sosial dan ekonomi tadi.

Pada hari pemilihan umum, diharapkan para pemilih (voters) akan memilih anggota dewan incumbent yang penuh “benefolency” di tahun politik ini (2024). Perilaku anggota dewan yang turun mengunjungi konstituen ditahun 2023 menyisakan banyak diskursus ditengah masyarakat, misalnya: 1) Kemana sajakah anggota dewan di tahun pertama, kedua, dan ketiga, setelah duduk menjadi anggota legislatif ? kenapa lupa untuk turun melihat keluh-kesah dan jeritan masyarakatnya. 2) Benefolency (kebajikan hati, sikap dan perilaku, dan kedermawanan) sesaat tidak akan mampu mengurai persoalan sosial-ekonomi masyarakat yang sudah terstruktur. 3) Ditengah-tengah masyarakat telah muncul friksi-friksi sebagai akibat dari distribusi dan redistribusi paket bantuan yang tidak proporsional atau profesional. Fenomena terakhir ini merupakan cikal bakal konflik di perdesaan. 4) Partai politik sebagai lokomotif yang mengantarkan anggota dewan kemana-mana, suka atau tidak suka, pasti “terbawa rendong” oleh perilaku anggota dewan yang melakukan kegiatan atau tidak melakukan kegiatan apa-apa.

Pengelompokan Pemilih

Aktor kedua, mereka adalah warga masyarakat biasa (Robert Dahl, 2009), yang dalam konteks pemilu biasa disebut pemilih (voters). Jika ditelisik lebih jauh, baik secara teoretik maupun secara empirik, maka akan ditemukan berbagai kecenderungan perilaku pemilih dan pemilih dapat dikelompokkan menjadi: 1). Terdapat sejumlah anggota masyarakat (pemilih) yang secara emosional memiliki pendirian yang kokoh terhadap sebuah partai politik atau terhadap tokoh/aktor politik dan tidak terpengaruh oleh apapun bentuk bujukan, rayuan politik lainnya. Kelompok ini biasa disebut sebagai Fanatism Voters. 2). Ada sejumlah pemilih yang cenderung menunggu sosialisasi atau pencerahan, bahkan mencari tahu siapa betul sosok aktor politik yang akan mengisi jabatan di legislatif (anggota dewan) yang akan dipilihnya, apa partai pengusungnya, dan siapa calon presidennya, baru kemudian dia memutuskan apakah akan memberikan dukungan atau tidak kepada aktor politik tersebut.

Pemilih jenis ini umumnya berada di perkotaan, dan kalaupun ada di perdesaan, mereka adalah tergolong ke dalam pemilih dengan status sosial ekonomi tinggi. Kelompok kedua ini biasa disebut sebagai Smart Voters. 3). Ada sejumlah besar pemilih yang cenderung mendasarkan pilihannya atas pertimbangan apa yang didapatnya (who gets what, when, and how: Harold D. Laswell, 2005), dan konon katanya no money no voice, no money no choice). Pemilih kategori ini beranggapan bahwa ketika calon anggota dewan sudah duduk di lembaga legislatif, mereka tidak akan lagi memikirkan warga masyarakat pemilih, oleh karenanya maksimalisasi perolehan sebelum hari pemilu adalah sebuah tindakan rasional (“rasional sempit”). Misalnya, menerima serangan fajar, paket sembako, dan paket-paket lainnya. Tindakan atau perilaku kelompok seperti inilah yang menyandera hak-hak politik anggota masyarakat lainnya yang ketika pemilu, mereka memberikan dukungan politik secara ikhlas tanpa pamrih. Dikatakan tersandera karena suara politik mereka tadi telah terjual dan telah pula dibeli oleh politisi. Maka, kemudian menjadi wajar muncul ungkapan sebagai faktor penjelas: “Bila anggota dewan tidak turun untuk melakukan reses atau tidak membawa kegiatan pokir ke dapilnya, pemilih tidak bisa komplain karena suaranya telah terjual ludes”, dan di saat yang sama “kealfaan kritik dan komplain merupakan kesempatan empuk bagi anggota dewan untuk mengembalikan modal yang telah diinvestasikan ketika menjelang pemilu”.

Tesis ini semakin menguatkan fenomena bahwa anggota dewan memang senyatanya tidak turun gunung bertahun-tahun sampai tiba saatnya tahun politik. Dapat dibayangkan, betapa besar dosa dan kesalahan sekelompok kecil orang (voters) yang telah menjual suaranya tadi kepada sejumlah besar orang yang ikut pemilu dengan jujur, ikhlas, dan penuh kedamaian. Sejumlah besar pemilih yang disebut terakhir ini, memiliki ekspektasi yang sangat tinggi sembari berharap ada kecerdasan dan kesadaran anggota dewan untuk turun ke Dapilnya dengan membawa segudang harapan yang substantif. Semoga.

Hasil observasi penulis mengonfirmasikan bahwa rata-rata pemilih yang termasuk ke dalam kelompok ini memiliki status sosial ekonomi rendah dan berada di kawasan perdesaan. Kelompok ketiga ini saya disebut sebagai Unaware Voters. 4). Ada pula sekelompok kecil anggota masyarakat pemilih yang cenderung menerima semua pemberian dari calon anggota legislatif (caleg), namun dibalik itu dia telah menentukan pilihannya sendiri pada hari H pemilu. Kelompok ini lebih berbahaya lagi karena tidak memiliki ideologi sebagai pedoman dalam berpolitik, bahkan cenderung menjadi “pemilih munafik”. Kelompok keempat ini disebut sebagai Beggers Voters. 5). Terdapat juga dalam masyarakat, dimana dalam mengambil keputusan untuk ikut memilih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan kedekatan emosional, kedaerahan, suku, etnik, dan ikatan primordial lainnya, dan kelompok ini biasa disebut Cultural Voters. 6). Jumlah pemilih terbesar di tahun pemilu 2024 adalah pemilih pemula yakni kisaran 60 % dari seluruh pemilih. Pemilih pemula ini dapat saja terdiri dari pemilih mengambang (Floating Voters), yakni mereka yang berada diluar dari kelima kelompok diatas, dan pemilih yang berpindah dukungan atau belum memutuskan akan memilih siapa atau partai apa dalam pemilu yang akan datang (kelompok ini biasa disebut Swing Voters). Baik Floating Voters maupun Swing Voters pada kenyataannya cenderung mudah dipengaruhi oleh relasi kuasa, ajakan kawan, dan mudah ikut-ikutan.

Dari perspektif politik, perilaku politik pemilih pemula ini diduga dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan politik, keterbatasan informasi yang dimiliki dan tingkat kemandirian sosial ekonomi yang rendah. Sulit dibayangkan kita akan menemukan pemilih pemula yang “otonom” disaat lembaga-lembaga politik baik pada level negara maupun pada level masyarakat (seperti partai politik), tidak hirau dengan keberlangsungan dan keberlanjutan tatanan hidup bernegara (berdemokrasi), pembangunan politik bangsa, serta menegasikan segenap potensi pada generasi muda.

Jika generasi muda tidak dipersiapkan oleh generasi tua terutama negara maka dapat diproyeksikan bahwa generasi ini akan gugup (tidak siap) menerima estapet kepemimpinan politik dan pemerintahan. Kelompok terakhir ini diberi nama sebagai Young Voters Sistem politik demokratis memang mensyaratkan adanya keikutsertaan warga dalam setiap peristiwa politik penting seperti pemilihan umum. Keterlibatan warga secara langsung dianggap penting, karena: pertama, diasumsikan bahwa setiap warga negara memiliki pertimbangan sendiri terhadap apa yang terbaik bagi dirinya, termasuk siapa yang harus menjadi pemimpin; kedua, hubungannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme sistem politik (tahapan pemilu); dan ketiga, menentukan tingkat legitimasi sebagai hasil dari mekanisme sistem pemilu. Oleh karena itu, pemilihan umum (pemilu) dan segenap aturan yang mendasarinya harus merupakan sebuah instrumen yang menghubungkan antara wakil (anggota dewan) dan terwakil (pemilih). Hubungan yang diharapkan terbangun dari keduanya adalah hubungan yang berkualitas dan substantif (symbiosis). Artinya, kemenangan anggota dewan dimaknai sebagai bentuk apresiasi warga pemilih atas kualitas individu, dikenal sebagai aktor yang memiliki moral dan integritas, dan memiliki program kerja yang berbasiskan pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat grassroot, serta diusung oleh partai yang jelas ideologi dan jenis kelaminnya. Jika ini yang terjadi, maka masyarakat pemilih patut berbangga dan bahagia karena pada gilirannya mereka akan memperoleh kemenangan-kemenangan kolektif/kelompok dari perjuangan wakilnya di lembaga legislatif. Apabila anggota dewan yang duduk di legislatif menyadari betul bahwa keberhasilannya tidak terlepas dari dukungan penuh masyarakat pemilih di dapilnya, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan local choices dan local voices (daerah pemilihan). Bukan sebaliknya, kemenangan anggota dewan justru diperoleh karena sebaran paket, uang, cenderamata, atau janji-janji manis yang mustahil untuk diwujudkan.

Semoga tulisan ini bermanfaat, aamiin. (***)

Penulis merupakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau (Unri).

Related posts