Berpemilu Namun Tidak Berdemokrasi, Bagaimana Dengan Pilkada Ulang?

Katakata.id – Saya menulis tulisan ini sehari setelah menyaksikan berita salah seorang public figure (artis) ibukota yang mendaftarkan diri ke salah satu partai politik guna mengikuti kontestasi pilkada ulang di Pangkal Pinang. Memang terlalu dini jika untuk bisa menyimpulkan bahwa yang bersangkutan sudah bakal dapat dukungan atau tiket dari partai politik.

Disaat bersamaan beberapa tokoh tokoh sudah mulai wara wiri ke partai politik dengan maksud yang sama yakni menawarkan diri untuk diusung oleh partai politik, sebab pendaftaran jalur independent telah resmi ditutup hal ini menandakan bahwa tahapan pilkada sudah mulai berdinamika dan memiliki daya tarik.

Pilkada sejatinya merupakan wujud dari agenda demokrasi hasil konsekuensi otonomi daerah dan desentralisasi politik yang terjadi paska runtuhnya orde baru. Lantas mengapa kita perlu berpilkada? tentu kita sudah bisa memahami bahwa pilkada merupakan upaya untuk melakukan penguatan dan pendalaman demokrasi, melalui pilkada diharapkan juga mampu menghasilkan kesejahteraan melalui kekuasaan politik yang lebih otonom dan mandiri, selain itu pilkada merupakan upaya untuk memakmurkan otonomi daerah. Pilkada yang subtantif dan berkualitas sekurang kurangnya perlu direfleksikan melalui terpilihnya pemimpin yang jujur, kompeten, amanah (trusted), transparan, komunikatif dan bijaksana.

Beberapa fungsi partai politik adalah melakukan rekrutmen politik, komunikasi politik dan pemandu kepentingan publik. Namun fungsi inilah yang pada 2024 yang lalu pada pilkada di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka mengalami kebekuan sehingga saluran aspirasi publik baik dalam hal kandidasi dan isu melalui kontestasi menjadi tersumbat. Hal ini yang kemudian perlu menjadi bahan dasar evaluasi pada pilkada ulang, mengingat pilkada Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka didominasi oleh koalisi besar partai politik yang berimplikasi menurunkan tingkat kompetisi electoral dan stabilitas politik daerah.

Pilkada untuk siapa?

Data yang dipaparkan election corner Universitas Gadjah Mada merangkum beberapa temuan utama hasil evaluasi mendasar ditemukan bahwa minimnya kompetisi electoral sebagaimana jika dilihat dari 545 daerah hanya 129 daerah (23,66%) yang memiliki kontestasi yang kompetitif, sementara sisanya telah dapat diprediksi jauh sebelum hari pemungutan suara. Pilkada 2024 juga didominasi oleh koalisi besar dengan tercatat 239 daerah (43,85%) membentuk minimally winning coalition, 143 daerah (24,58%) surplus majority coalition dan 41 daerah (7,52%) grand coalition dimana Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka Termasuk didalamnya.

Dengan data data diatas kita bisa melihat bahwa fenomena uncontested election menjadi implikasi yang tidak bisa dielakkan yang terjadi di beberapa daerah pada pilkada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimana kompetisi yang minim ini disebabkan dominasi kandidat petahana atau koalisi yang terlalu kuat mengurangi ruang bagi calon alternatif untuk bisa muncul. Sehingga perlu kita pertanyakan ulang bahwa pilkada dilaksanakan untuk apa dan untuk siapa? Kita pada akhirnya tidak berdemokrasi secara utuh, atau dengan kata lain seolah kita hanya berpemilu namun tidak berdemokrasi.

Salah satu prasyarat pilkada berkualitas bertumpu pada partisipasi masyarakat pemilih dan kontestasi yang berlangsung. Pilkada ulang kota pangkal pinang dan Kabupaten Bangka merupakan pilkada yang akan digelar pada 27 agustus 2025 dengan menggelar kembali tahapan yang ada. Dalam pilkada 2024 yang lalu calon tunggal harus menerima konsekuensi dari elitisasi politik lokal di 2 daerah tersebut. Kekalahan calon tunggal menjadi simbol bahwa publik sudah muak dengan dinamika politik yang terjadi didaerah, proses kandidasi yang tidak benar benar dianggap merepresentasikan kehendak publik, hal ini tentu atas beberapa dinamika yang terjadi mulai dari adanya efek ketakutan (scare-off effect) dari partai politik untuk mengusung kandidatnya atau calon alternatif karena melihat kandidat (petahana) memiliki keuntungan elektabilitas tinggi dan kekuatan finansial yg kuat atau calon tunggal sebagai strategi untuk “memenangkan pilkada tanpa melalui proses kontestasi” (Lay, et.al, 2017).

Sejatinya pemilihan kepala daerah harus menjadi wadah dan agenda rutin bagi publik dalam melakukan koreksi dan evaluasi melalui pilihan politik yang mereka berikan, namun dinamika tidak berjalan ideal sebagaimana mestinya, pemilihan kepala daerah menjadi komoditas elite politik lokal dalam upaya berebut kekuasaan tanpa benar benar serius memperhatikan publik sebagai subjek pemilu. Dalam dinamika ini partai politik turut berkontribusi memperkeruh suasana dengan gagalnya menjalankan peran sebagai mediator dalam menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan yang kemudian menjadi luaran bagi partai politik. Partai politik menjadi arena tukar tambah kepentingan elite semata, sehingga pemilihan hanya menghadirkan hasil demokrasi elite (dalam ruang tertutup) yang cenderung dipaksakan bagi publik untuk dipilih. Bahkan terkadang terdapat beberapa luaran partai (konfigurasi dan kandidasi) yang sejak awal sudah mendapatkan resistensi dari mayoritas masyarakat daerah. Maka perlu perenungan mendalam bahwa sebenarnya pilkada ini untuk siapa, untuk rakyat kah atau hanya  merupakan arena pertarungan kelompok oligarki lokal yang wujudnya melalui kandidasi yg didominasi orang kuat lokal (local bossism) atau dinasti politik lokal yang masih saja menjadi kultur didalamnya.

(Re)Konfigurasi Politik

Kandidasi pilkada yg semakin sentralistis dan elitis pada ruang politik menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari mengingat syarat pencalonan yang sangat tersentralisasi melalui rekomendasi DPP partai politik yang menyebabkan proses konfigurasi mengalami keterputusan hubungan dan kepentingan antara DPP dan DPD partai yang berbeda. Selain itu komunikasi direct yang dilakukan politisi terkadang membuat proses konfigurasi sangat ditentukan bagaimana jaringan dan komunikasi aktor politik kepada DPP partai dan tidak sedikit pula terjadi proses transaksi (mahar politik) dalam mekanisme konfigurasi ketimbang melalui komunikasi berjenjang meskipun secara prosedural setiap calon tetap mengambil formulir dan mendaftarkan diri pada partai politik. Pilkada ulang di kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka seharusnya menjadi sebuah sarana subtansi bagi partai politik untuk melakukan koreksi mendasar atas figur figur yang muncul, putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan seharusnya memberikan peluang kepada tokoh tokoh yang selama ini memiliki minat untuk berkontestasi bisa didorong dalam ruang kandidasi.

Pilkada memiliki peran penting dalam upaya mendorong politik programatik dengan memilih pemimpin yang mampu menghadirkan solusi solusi bagi Pembangunan daerah. Kita perlu mendorong tokoh tokoh yang kuat dengan program dan tawaran solusi ketimbang hanya memberikan dukungan pada tokoh tokoh yang cenderung populer saja sehingga kampanye yang dihadirkan dari konfigurasi politik memberikan pendidikan politik dan pertarungan politik programatik (ide dan gagasan). Catatan penting dalam proses kandidasi yang pragmatis (Elektabilitas sebagai indikator utama) menjadi konsekuensi dari kegagalan fungsi rekruitmen dan kaderisasi partai politik. Partai politik harus segera sadar dan bertaubat dalam proses kandidasi untuk benar benar memberikan rekomendasi kepada figur figur terbaik yang memiliki kompetensi. Pelajaran dari calon tunggal pada pilkada 2024 yang lalu jangan sampai terulang, Sehingga kultur politik penuh nilai bisa hadir dalam ruang pilkada, dan kita tidak merasakan bahwa demokrasi mati di bilik suara. Pilkada harus menjadi arena Pendidikan politik bisa diartikulasikan.

Munculnya sejumlah nama dan tokoh tokoh baik yang mendaftar melalui jalur independent maupun melalui jalur partai politik menandakan bahwa gairah politik yang selama ini tersumbat dalam ruang kandidasi sudah kembali terbuka, tinggal kemudian partai politik memainkan peran penting dalam menyaring tokoh tokoh yang ada untuk dikonfigurasikan sesuai dengan assessment yang dibutuhkan oleh publik daerah. Tantangan terbesar dari politik programatik adalah politik populisme yang cenderung percakapan dalam lingkup partai dan isu publik yang berkembang beredar seputar popularitas dan ideologi yang mengambang karena publik tidak lagi disajikan percakapan politik secara substansial sehingga ruang politik menjadi relasi transaksi program instan (pragmatis) dan politik uang yang bisa terjadi.

Kepentingan partai politik

Perebutan kekuasaan yang tidak selalu muncul dalam bentuk konflik terbuka, tapi bekerja secara halus dan structural, pendapat John Gaventa melalui teori kubus kekuasaan tersebut dapat kita lihat dalam paket koalisi dan konfigurasi yang akan dimunculkan oleh partai politik baik di Pangkalpinang maupun di Kabupaten Bangka, Pilkada ulang menjadi agenda perang kepentingan partai politik guna mempertahankan pengaruhnya dan ingin mengamankan posisinya dalam konstalasi politik bukan hanya untuk pilkada hari ini saja namun juga menjaga momentum menuju 2029. Bukan tidak mungkin pilkada ulang menjadi jembatan bagi kepentingan yang lebih besar bagi partai politik, bukan hanya kepentingan karir politik politisi namun juga kesempatan bagi partai politik di tingkat daerah pada pilkada yang lalu gagal mengamankan posisinya dalam kekuasaan eksekutif.
Seharusnya terdapat beberapa partai politik yang akan menjadi key player dalam koalisi, partai partai tersebut tentu yang sudah memiliki modal kursi diatas 10% di parlemen daerah sehingga partai tersebut perlu mendorong kader ataupun tokoh yang diyakini memiliki kompetensi, integritas dan kekuatan keterpilihan. Selain itu terkhusus partai dari asal politisi petahana (calon tunggal) yang gagal pada pilkada 2024, perlu melakukan evaluasi mendasar agar pada pilkada ulang tidak kehilangan momentum. Maka partai politik perlu menselaraskan antara keseriusan para figur dengan kepentingan baik secara ideologis maupun kepentingan internal partai. Jangan sampai pragmatisme diruang partai justru kembali terjadi sehingga memberikan jarak pada kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan publik di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka.

Mendorong Perbaikan 

Untuk menjaga kualitas demokrasi dan ruang kompetisi kedepan perlu adanya reformasi dalam system pilkada serentak guna meningkatkan persaingan politik yang lebih sehat :

1. Mendorong regulasi yang menciptakan ruang kompetisi yang sehat dan demokratis

2. Perlunya penguatan peran partai politik baik dalam hal kaderisasi dan rekrutmen politik, serta perlu lebih terbuka dalam mendorong regenerasi di tubuh partai

3. Penyelenggara pemilu perlu banyak upaya dan strategi untuk meningkatkan partisipasi pemilih mengingat partisipasi pada pilkada 2024 di Kota Pangkal pinang dan Kabupaten Bangka terhitung rendah. Tentu akumulasi persoalan tidak hanya pada penyelenggara namun  berbagai pihak. (***)

Oleh : Ariandi A Zulkarnain, S.IP, M.Si, Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung.

Related posts