Oleh: Dr Chaidir
Katakata.id – Tiga tahun Syamsuar-Edy (Gubri-Wagubri) tampil sebagai pemeran utama panggung politik Riau, ibarat sebuah pertunjukan, selama itu pula penonton berhak menikmati, bertepuk tangan, bersorak-sorai, mengkritik, atau pun mencemeeh, tak bisa ditegah.
Syam-Edy seakan berada pada panggung Dramaturgi ciptaan Erving Goffman (1959), sosiolog Kanada-Amerika, yang memainkan peranan penting dalam perkembangan sosiologi Amerika modern. Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater atau drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan nyata manusia. Menurut Goffman, dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Ada kesenjangan antara diri kita di ruang pribadi dan diri kita yang tersosialisasi di ruang publik.
Dalam konsep Goffman, kehidupan sosial dibagi menjadi wilayah depan (panggung depan) yang merujuk peristiwa sosial bahwa individu bergaya menampilkan perannya; dan wilayah belakang (panggung belakang), yang merujuk pada kehidupan sehari-hari sang tokoh dan tempat sang tokoh/pemeran mempersiapkan perannya di panggung depan.
Panggung depan dibagi pula menjadi dua, yaitu front pribadi (personal front) dan setting panggung. Persiapan di panggung belakang dimaksudkan agar ketika tampil di panggung depan, sang pemeran bisa tampil memuaskan, dan tidak membawa kebiasaan-kebiasaan buruk di panggung belakang.
Disisi lain, konsep dramaturgi menyampaikan sebuah message (pesan) bahwa penonton jangan terlalu mudah menilai penampilan orang di panggung depan. Manusia itu tetap memiliki dua sisi dalam dirinya: nice personality atau bad personality (sifat baik dan buruk). Dan penonton itu sendiri, memiliki standar persepsi yang berbeda satu sama lain, akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, budaya, keluarga, dan sebagainya yang tak terlihat di permukaan. Oleh karena itu, pemahamannya terhadap lakon yang dimainkan di panggung depan, bisa berbeda.
Maka, sang pemeran utama mustahil bisa memuaskan seluruh penonton, namun sekurang-kurangnya tak boleh terlalu mengecewakan. Untuk mendukung penampilan di panggung depan (front stage) itulah, persiapan di panggung belakang (back stage) memerlukan kerabat kerja (crew) handal yang mampu menangkap fenomena sosial yang menyelimuti penonton. Idealnya panggung depan dan panggung belakang sama atraktifnya.
Harus diakui, panggung kehidupan dewasa ini dengan segala dinamikanya, taklah sesederhana panggung dramaturginya Goffman itu. Dalam kehidupan nyata, berbagai tuntutan kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik, dewasa ini semakin kompleks. Irisan-irisan permasalahan nasional menyentuh sampai ke daerah. Siapa pun yang diberi amanah memimpin akan berhadapan dengan berbagai masalah yang sama, dan itu tidak mudah.
Beberapa hal patut dicatat sebagai tantangan, antara lain: kebutuhan masyarakat kini berubah cepat; cara bekerja, cara berusaha, cara berpolitik, cara berkomunikasi, dan cara pengelolaan pemerintahan dan organisasi, semuanya berubah cepat. Tak ada pilihan, semuanya harus dijawab dengan perubahan sikap mental (transformasi) birokrasi, tidak hanya sekadar ganti jaket. Tatakelola pemerintahan (good governance) juga harus dibuat instrumental, karena berkaitan dengan peningkatan budaya saling percaya (trust culture). Trust culture ini merupakan modal sosial yang sangat penting dalam kemajuan sebuah bangsa.
Namun sesungguhnya, tantangan terbesar yang dihadapi Riau dalam dua dekade terakhir ini, bukan mengalahkan tantangan eksternal organisasi, masalah yang dihadapi adalah lingkungan internal: mengalahkan diri sendiri. Persis seperti disebut pakar manajemen Peter Drucker, “The enemy is not out there.” Musuh tidak berada di luar sana, tapi berada dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, tantangan internal berurusan dengan sikap mental SDM yang dimiliki organisasi, dan ini seringkali menyulitkan organisasi tersebut berinovasi untuk mencapai kemajuan.
Namun demikian penilaian subjektif belaka tak cukup menjawab tantangan perubahan, apalagi berhadapan dengan perubahan preferensi masyarakat. Jajak pendapat (polling) akademik perlu dilakukan secara berkala untuk memetakan perubahan preferensi tersebut. Dan kemudian menetapkan ukuran indikator kinerja kunci yang dikenal dengan istilah KPI (Key Performance Indicator), yakni ukuran keberhasilan tujuan atau sasaran organisasi yang telah ditetapkan.
Bagaimana caranya? Syam-Edy perlu menggunakan pendekatan kolaboratif di panggung belakang dramaturgi Goffman, dengan melibatkan akademisi, korporasi yang memiliki budaya kerja bagus, tokoh-tokoh masyarakat pemikir, tokoh-tokoh media, dan politisi yang memiliki integritas. Dengan demikian performance di panggung depan, menjadi tanggungjawab bersama. Waktu tersisa bagi duet Syam-Edy masih dua tahun. Masih banyak waktu untuk menggores tinta emas.***
Penulis merupakan Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)