Katakata.id – mendaki gunung saat ini banyak diminati masyarakat dalam menghabiskan masa libur dan waktu luang. Namun, mendaki tanpa memiliki pengalaman dan persiapan yang baik dan matang bisa menyulitkan masyarakat itu sendiri. pada saat itulah pentingnya kehadiran pemandu gunung. Puncak yang jadi tujuan, bisa dicapai dengan kondisi yang nyaman dan aman.
Pemandu gunung adalah seorang yang mengerti betul akan kompetensi dirinya saat dia memandu masyarakat agar saat melakukan pendakian dalam keadaan aman dan nyaman. Dia adalah lini terdepan dalam memberikan edukasi terhadap masyarakat yang akan mendaki gunung.
“Karena wisata alam bebas ini kan banyak risiko. Pemandu Gunung inilah dengan keilmuannya bisa menjadikan alam bebas wisata refreshing,” jelas seorang pemandu gunung yang juga direktur Focus Adventure Syahrul Mubaraq saat berbincang – bincang kepada wartawan, Senin ( 5/7/2021 ).
Dalam pendampingan pendakian gunung yang dilakukan, pemandu gunung bertugas memberikan jaminan keselamatan mulai dari manajemen persiapan sebelum perjalanan, manajemen perjalanan, manajemen logistik dan manajemen resiko.
“Menjamin keselamatan. Jangan sampai wisata alam bebas menimbulkan bahaya bagi orang berwisata di alam bebas,” jelas dia.
Pendakian gunung kata dia pada dasarnya tidak berat dan bisa dinikmati semua kalangan. Bahkan yang tidak memiliki pengalaman sekalipun. Ini dengan syarat harus dimanage dengan baik.
“Dari praperjalanan sampai pascaperjalanan harus dipersiapkan oleh pemandu gunung,” urainya.
Dalam pemanduan yang dilakukan, seorang pemandu gunung harus paham tujuan perjalanan, target yang ingin dicapai peserta itu apa , hingga kondisi peserta seperti apa.
“Jadi tidak bisa besok pagi ke gunung hari ini baru bilang mau pergi tidak bisa. Karena seorang pemandu gunung juga harus melakukan interview sama peserta. Aktivitas sebelumnya apa saja, sudah olahraga atau belum. Penyakitnya bawaan apa saja, makanan yang alergi apa itu harus diantisipasi dan harus paham,” ujarnya.
Persiapan memegang peranan penting dalam sebuah pendakian gunung. Karena setiap gunung itu memiliki tantangan dan situasi yang berbeda – beda.
“Di satu gunung dalam waktu berbeda akan berbeda juga kondisinya. Karena cuaca di gunung berubah-ubah. Harus paham baca cuaca juga. Pengalaman mempengaruhi juga,” ujar pria yang akrab disapa arul ini.
Pemandu gunung yang profesional itu bernaung dalam organisasi Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI).
Dalam profesi ini, ada tiga tingkatan keahlian. Pertama, pemandu muda. Untuk mendapatkannya harus sudah pernah memandu perjalanan ke lima gunung dalam tiga tahun terakhir. Kedua, pemandu madya minimal memandu 10 gunung. Terakhir, pemandu ahli yakni sudah memandu 20 gunung. “APGI ini satu-satunya asosiasi yang diakui pemerintah dan ada sertifikat dari lembaga sertifikasi Indonesia. Ada standar kompetensinya. Harus bisa memenuhi standar itu,” sebutnya.
Bagi Arul, menjadi pemandu gunung pada dasarnya adalah menekuni hobi menjadi profesi. Sejak di bangku kuliah jurusan Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri), dia tergabung dalam organisasi mahasiswa pecinta alam (Mapala) Sakai. Dari sini, dia belajar mengatur perjalanan rekan-rekan sesama mahasiswa dan senior untuk pergi mendaki gunung.
Lihat postingan ini di Instagram
Hingga kini, dia sudah pernah memandu pendakian di antaranya ke Gunung Kerinci di Jambi dan Gunung Dempo di Sumatera Selatan hingga ke Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Untuk gunung-gunung di Sumatera Barat seperti gunung talang dan gunung marapi, pemanduan sudah berulang kali dilakukan.
Untuk pemanduan pendakian gunung, secara garis besar ada dua pola yang digunakan yakni, pertama adalah open trip, membuka paket pendakian untuk masyarakat umum dengan biaya yang ditentukan per orangnya. Kedua, adalah private trip yakni pendamping pendakian khusus untuk satu kelompok saja. Sebagai sebuah profesi, pemandu gunung kata pria yang sehari-hari juga beraktivitas memberi materi kegiatan outbound training dan membangun wahana wisata alam bebas ini, bisa memberikan pemasukan yang cukup.
Namun, diakuinya kondisi pandemi Covid-19 saat ini mempengaruhi intensitas masyarakat untuk mendaki. “Sebelum pandemi itu minimal setahun sampai delapan kali memandu. Setelah Covid setahun cuma tiga dan dua,” ungkapnya.
Aktivitas pendakian gunung pada dasarnya bisa menunjukkan sifat asli seseorang. Kondisi ini pula yang harus diantisipasi agar pemanduan pendakian berjalan lancar.
“Kita harus bisa menyesuaikan dengan karakter tamu. Bisa memahami dan memberikan edukasi. Tentang etika di gunung, pelestarian alam, budaya di gunung, tradisi setempat dan kearifan lokalnya. Masing-masing gunung ada beda-beda cerita,” urainya.
Karena itu pula, wajib bagi seorang pemandu gunung memiliki informasi yang cukup tentang gunung yang akan didaki. “Ya, karena sebelum naik kan kita ketemu dengan masyarakat setempat. Jadi minimal kita tahu kulit luar budaya setempat. Larangannya beda-beda di tiap gunung. Beda-beda karakternya dan pemandu harus tahu,” ujarnya.
Saat melakukan pemanduan, faktor yang harus diantisipasi adalah kondisi alam dan cuaca. Syahrul mengenang, dalam suatu pemanduan ke Gunung Talang di Solok Sumatera Barat. Dirinya dan peserta pendakian pernah diterpa badai hampir seharian.
“Di Gunung Talang sampai puncak pukul 17.00 WIB, kena badai sampai pukul 10.00 WIB besoknya,” tuturnya.
Kondisi lain yang juga pernah dihadapi adalah peserta pendakian yang mengalami cedera di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Dalam kondisi ini, keahlian penanganan darurat medis dari ringan hingga berat wajib dimiliki. “Sempat evakuasi karena cedera. Kami lakukan trauma healing. Kami beri semangat,” ucapnya.
Bagi pemandu pemula yang ingin berprofesi menjadi pemandu gunung, dia memberikan saran untuk terus memperbanyak pengalaman.
“Perbanyak pengalaman. Perdalam ilmu manajemen risiko, manajemen perjalanan. Jadi harus di-manage dengan baik,” ujarnya.
Dalam melakukan pemanduan, klien yang pernah ditangani Syahrul beragam. Mulai dari dokter, pegawai swasta, pimpinan BUMD hingga pegawai BUMN dan ASN. Kesamaan para kliennya ini adalah ingin tetap merasakan sensasi mendaki hingga puncak (summit) namun tetap nyaman dan tak repot mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan.
“Banyak juga yang sudah sering mendaki, tapi karena mau nyaman dan tak perlu repot-repot barangnya kami bawakan. Peralatan, makan dan lainnya kami siapkan,” ucapnya.
Ke depan, Syahrul memiliki harapan agar profesi pemandu gunung bisa terus berkembang. Seiring itu pula, destinasi wisata di Riau juga tumbuh.
“Di Riau pemandu gunung yang sudah sertifikasi belum banyak. Tapi untuk pemandu pemula sudah banyak yang muncul. Harapannya, ke depan bisa mengembangkan wisata petualangan di Riau, karena sekarang belum berkembang sekali. Contohnya di Riau ini ada Gunung Jadi di Kampar Kiri tingginya sekitar 1.200 MDPL. Ini belum terkespose dengan baik,” jelasnya.**
Reporter: Rasid Ahmad