Perempuan Tangguh di Bahu Gunung Tertinggi (1)

INILAH kisah pendakian perdana seorang pendaki amat sangat pemula, pengidap asma, stamina ala kadarnya, dah emak-emak pula. Tak pernah terpikirkan olehku akan melakukan perjalanan ini. Aku suka alam. Aku suka gunung. Tapi mendaki gunung? Mustahil. Mendaki tangga saja nafasku satu-satu.

Sewaktu masih lajang, Emak Bapak tak akan pernah mengizinkan. Sampai kapanpun tak akan diizinkan. Dengan alasan aku pengidap asma akut. Masuk akal. Namun takdir berkata lain. Aku berjodoh dengan laki-laki yang suka berpetualang mendaki gunung. Akhirnya hobi itu pun menular padaku.

Usia? Kepala tiga, beranak dua. Ah masih muda. Stamina? Kita pacu dengan olah raga. Asma? Mari berdoa semoga tak kumat di atas sana. Bisa? Bisa. Kuat? InsyaAllah kuat. Oke. Selanjutkan mari kita susun rencana perjalanan.

Setelah merana karena gagal ke Gunung Kerinci waktu itu, harap-harap cemas aku menantikan destinasi berikutnya. Edisi Seven Summit Indonesia bersama Tim Pertamina dan KBIP Cs (Keluarga Besar Ilmu Pemerintahan dan Cs). Setelah Gunung Kerinci di Jambi sebagai yang tertinggi di Indonesia, tujuan selanjutnya adalah Rinjani. Gunung tertinggi kedua setelah Kerinci. Namun gempa Lombok beberapa waktu yang lalu meluluhlantakkan tidak hanya wilayah permukiman tetapi juga jalur pendakian Rinjani. Tunda Rinjani, destinasi beralih ke Semeru, gunung tertinggi ketiga di Indonesia. Tertinggi di Pulau Jawa. Atap Jawa. Tempat di mana Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya.

Pemula itu seharusnya mendaki gunung yang kecil-kecil dulu. Bukannya langsung Semeru, begitu kata orang-orang. Aku nyengir. Nekat. Akhirnya hari yang dijadwalkanpun tiba. Kami terbang dari Pekanbaru menuju Malang. Secara administratif Semeru terletak di dua kabupaten, Malang dan Lumajang. Setelah mendarat dengan selamat di Malang, aku bersama tim langsung menuju Lumajang. Untuk mempersiapkan stamina kami menginap semalam di rumah persinggahan, semacam villa, di Desa Gubugklakah. Teman-teman menyiapkan stamina, aku memperbanyak doa.

Keesokan harinya, perjalanan dimulai dengan mengendarai jeep-jeep gagah yang beriringan membelah jalan menuju Desa Ranupani, pos keberangkatan menuju Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang. Butuh waktu hampir 2 jam. Melewati pemandangan indah bentangan alam perbukitan. Ladang-ladang petani rapi tersusun berbaris dengan kemiringan sekira 60°, menanam sayuran semisal kentang, wortel, bunga kol dan bawang daun. Subur. Ijo royo royo. Gemah ripah loh jinawi.

Lalu sampailah kami di Ranupani, pos awal pendakian. Jalur satu-satunya pendakian Semeru. Ratusan pendaki berkumpul disini setiap hari. Diperiksa, diberikan arahan oleh petugas dan relawan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pendakian, segala macam saran dan larangan. Semeru termasuk gunung dengan manajemen pendakian paling baik dan aturan paling ketat. Pendaki harus memakai sepatu gunung, menyerahkan surat keterangan sehat, tidak boleh membawa alat musik dan speaker, tidak boleh membawa tisu basah, tidak boleh membuang sampah, sampah harus dibawa kembali turun ke bawah, tidak boleh sembarang membuang hajat alias ‘ranjau darat’, tidak boleh mandi juga cuci mencuci di Ranu Kumbolo, bahkan mencuci jari pun tak boleh. Tipsnya adalah mengambil air danau menggunakan botol lalu melakukan pencucian di tempat lain. Bila melanggar akan ada sanksi, yang terberat adalah diblacklist tak boleh lagi mendaki Semeru seumur hidup. Luar biasa.

Ketatnya aturan memang berpengaruh besar terhadap kondisi jalur pendakian. Bersih, tanpa sampah. Ranu Kumbolo pun bersih, indah, tak terganggu sampah. Dapat cerita bahwa di gunung-gunung lain yang aturannya tidak seketat Semeru memang banyak sampah menumpuk dimana-mana. Salut…

Setelah acara briefing dan arahan itu, mulailah kami bersiap berjalan. Tim kami terdiri dari 26 orang. Diantaranya ada 4 perempuan. Women Series. Belakangan baru kusaksikan, mereka adalah perempuan-perempuan perkasa, mandiri, tangkas dan cekatan. Kecuali aku tentu saja, yang ringkih, lamban dan manja. Oh sudahlah.

Kamipun mulai berjalan, menyusuri desa dan ladang-ladang warga. Jalanan mulai mendaki, tak landai lagi. Dan penderitaan itupun dimulai. Baru 15 menit pertama berjalan aku sudah kelelahan, ngos-ngosan, kepala pusing, jantung berdebar-debar. Masih di desa, belum lagi masuk hutan. Oh tidak. Aku mulai panik. Tidak mungkin aku menyerah disini. Bagaimana kalau memang tidak sanggup? Pingsan disini? 200 meter dari pos keberangkatan? Memalukan sekali.

Tidak ada seorangpun menyadari kepanikanku. Aku mulai mengutuki diriku sendiri. Terbayang rumah, anak-anak yang bermain ceria, kasur yang empuk, kamar yang sejuk, naik mobil, jalan-jalan, kulineran. Semakin lama pikiran semakin liar. Ngapain aku capek-capek kesini, untuk apa bersusah-susah begini.

30 menit, 1 jam berlalu, berjalan, mendaki, menuruni bukit dan lereng. Selama itu pula aku menguatkan hati. Baru 1 jam. Sedangkan perkiraan perjalanan menuju Ranu Kumbolo, shelter pertama, adalah 5 jam pendakian. Teman-teman tak akan tahu, aku banyak mengucap istighfar kala itu. Ampun ya Allah….ampun ya Rabb….aku banyak dosa…kuatkan aku Ya Rahman….

Tahukah kau pelajaran moral dari peristiwa ini kawan? Bila kau tipe manusia durjana payah bertobat, pergilah mendaki gunung. Maka di setiap langkah pendakianmu akan penuh dengan ucapan memohon ampunan. Percayalah, itu resep paling ampuh bila kau sulit memulai pertaubatan.

Dan akhirnya, setelah 5 jam yang penuh dengan untaian doa dan munajat, sampailah kami di Ranu Kumbolo yang melegenda itu. Sumpah, menyebalkan sekali rasanya jika harus berbagi foto keindahannya. Tersebab sambil ngemil keripik pisang pun kau bisa dengan ringan menyerukan, “Cantiknyaaa…, indahnyaaa…,bagusnyaaa…”

Sedang aku? Kau tak tahu kawan apa saja doaku dalam perjalanan menuju kesana. Semua doa kusebut, semua dosa kuingat, semua ampunan kuratap, agar Tuhan menguatkan langkahku sampai ke tujuan.

Namun akhirnya aku sadar. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, walaupun terseok-seok, aku telah menembus batasan itu. Batasan paling lemahku.**

 

Penulis: Lufita Nur Alfiah

Related posts