Lebaran Dan Halal Bihalal Dalam Perspekstif Sosiologi

Katakata.id – Momen idul fitri merupakan momen yang ditunggu oleh setiap umat islam terutama di Indonesia, setiap tahunnya masyarakat Indonesia merayakan momen idul fitri dengan melakukan halal bihalal, mudik dan silaturahmi sebagai bagian dari sukacita dalam menyambut dan merayakan idul fitri. Masyarakat Indonesia sering menggunakan istilah “ lebaran” sebagai tanda merayakan idul fitri. Lebaran bukan hanya bermakna religious yaitu perayaan setelah 1 bulan berpuasa dibulan Ramadhan namun juga bermakna memperkuat solidaritas dan kohesi sosial dimasyarakat.

Lebaran dalam perspektif sosiolog  Emile Durkheim dianggap sebagai bentuk solidaritas sosial. Durkheim membagi solidaritas menjadi dua yaitu solidaritas mekanik untuk masyarakat desa dan solidaritas organik untuk masyarakat kota. Bagi masyarakat desa tradisi mudik, silaturahmi dan saling memaafkan merupakan upaya untuk memperkuat hubungan keluarga, komunitas dan masyarakat. Selain itu dengan tradisi mudik dimana para masyarakat yang bekerja di kota dan pulang kampung ketika momen lebaran maka juga menjadi momen meningkatkan kebersamaan dengan terdistribusinya dana zakat, sedekah dan Tunjangan Hari Raya ( THR ) yang ini juga sejalan dengan teori solidaritas sosial dimana kelompok yang lebih mampu membantu yang tidak mampu.

Halal bihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia, bukan hanya menjadi ajang saling berkumpul dan saling memaafkan namun juga menjadi momentum dalam memperkuat hubungan keluarga, komunitas dan lingkungan kerja.  Tidak seperti silaturahmi biasa, halal bihalal memiliki dimensi yang berbeda karena melibatkan kelompok yang lebih besar bahkan antar lembaga dan organisasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal adalah hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halal bihalal merupakan suatu kebiasaan khas masyarakat Indonesia.

Jika melihat pada asal usul istilah Halal Bihalal di Indonesia, pertama kali dipopulerkan oleh KH Wahab Chasbullah, ulama Nahdatul Ulama yang menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan pertemuan nasional guna meredam ketegangan politik diantara elit bangsa, karena dipandang positif halal bihalal menjadi kebiasaan dan diadopsi oleh berbagai kalangan sebagai ajang memperkuat persatuan.

Dalam perspektif sosiologi halal bihalal berfungsi sebagai bentuk social capital ( modal sosial) dimana pada pelaksanaannya membentuk interaksi yang membangun kepercayaan, solidaritas sosial, dan memperkuat jaringan sosial dalam masyarakat. Modal sosial adalah kondisi yang menggiring kelompok orang yang bergerak secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Melalui tujuan bersama ini maka setiap orang akan dalam keinginan yang sama dan menjadi sebuah perekat yang akan menjaga kesatuan antara satu dengan yang lainnya agar masing-masing individu menjalin hubungan antar individu dalam kelompoknya. ( Francis Fukuyama, Trust: The Social Capital and The Creation of The Prosperity)

Selain berfungsi secara sosial halal bihalal juga berfungsi secara individual dimana bisa mengurangi konflik dan menyelesaikan kesalahpahaman antar individu dengan saling memaafkan hubungan yang renggang bisa menjadi erat dan yang jauh menjadi dekat. Dengan demikian maka halal bihalal menjadi instrument perekat hubungan sosial, meskipun seremonial halal bihalal hanya berbentuk salaman, namun halal bihalal menjadi penanda untuk memperbarui suasana persaudaraan dan hubungan persahabatan.

Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi membuat tantangan dalam tradisi lebaran dan halal bihalal, beban kerja, ekonomi yang sulit dan mobilitas serta kesibukan di kota membuat momen interaksi tatap muka menjadi berkurang. Begitu pun tradisi mudik ketika lebaran juga tak selalu menjadi hal yang mutlak bagi sebagian orang dikarena factor biaya, waktu, jarak dan tenaga yang harus dikeluarkan.

Selain itu juga tersedianya sarana pengganti kehadiran berupa teknologi internet, adanya  smartphone memungkinkan untuk siapapun bisa berinteraksi kapanpun dan dimanapun dengan adanya media sosial seperti whatsapps, Instagram, facebook, tiktok yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Menurut survei Badan Kebijakan Transportasi Kementrian Perhubungan jumlah pemudik tahun 2025 mengalami penurunan sebesar 24, 34 % dari 193,6 juta tahun 2024 menjadi 146, 48 juta pada tahun 2025. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti lesunya pertumbuhan ekonomi nasional yang ditandai dengan banyaknya PHK massal dari awal tahun 2025, yang berakibat menurunnya daya beli masyarakat.

Hal-hal diatas merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia selain berbagai macam factor-faktor lainya seperti jarak, biaya dan waktu yang dikeluarkan untuk setiap mudik setiap tahunnya.

Halal bihalal daring bisa menjadi solusi untuk mereka yang tidak bisa mudik dan hadir secara langsung, namun apakah interaksi secara virtual bisa mendekatkan hubungan emosional yang dihadirkan oleh pertemuan secara langsung ?

Lebaran dan halal bihalal merupakan tradisi masyarakat yang terbentuk karena adanya nilai-nilai didalamnya dan nilai-nilai itu yang harus terus diwariskan. Meski teknologi semakin maju namun makna silaturahmi dan kebersamaan tidak boleh terkikis.

Kita perlu memahami Bersama bahwa tradisi lebaran, mudik dan halal bihalal bukan hanya menjadi tradisi tahunan yang menjadi rutinitas belaka namun juga sebagai sebuah mekanisme sosial untuk memperkuat  keterikatan kita dengan keluarga, teman, komunitas dan solidaritas sosial didalam masyarakat. (***)

Oleh : Robi Armilus, S.Sos,M.Si, Dosen Sosiologi FISIP UNRI

Related posts