Oleh: Chaidir
Katakata.id – Memotong tumpeng bersama, itu biasa, tak istimewa, sering dilakukan dalam berbagai peristiwa penting atau setengah penting, atau tak penting-penting amat. Tapi, ketika itu dilakukan oleh Gubernur Syamsuar dan Bupati M Adil, maka potong tumpeng bersama itu menjadi terasa sangat istimewa.
Sebab siapapun yang sedikit memiliki kepedulian terhadap tata kelola pemerintahan, diakui atau tak diakui, pada 2022 lalu, ada “perang dingin” antara Gubernur Riau Syamsuar dengan Bupati Kepulauan Meranti M Adil terkait hubungan pemerintahan provinsi-kabupaten/kota menyangkut alokasi anggaran pembangunan. Pihak yang satu menyebut, dalam keterbatasan pendapatan daerah, anggaran harus dibagi secara proporsional, yang lain merasa ada ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Begitulah lebih kurangnya.
Sepanjang pengamatan saya, sampai awal tahun belum ada satu pihak pun yang mencoba membangun kesepahaman dan berikhtiar menjembatani (bridging) jarak kekuasaan (power distance) tersebut. Tidak juga ada pihak ketiga yang mencoba menjembatani. Ada yang bertepuk tangan, ada yang menjauh dari medan pertempuran karena takut terkena “peluru” nyasar. Memang Mendagri terlihat berupaya, tapi karena mengandung nuansa top-down, upaya tersebut tak banyak menyelesaikan masalah.
Kusut bahkan bukan terungkai, malah terkesan semakin kusut, ketika killing field Kepulauan Meranti dalam hal ini Bupati M Adil seperti singa terluka. Medan pertempuran semakin melebar, dan beritanya menjadi viral secara nasional. Banyak yang antipati tapi lebih banyak lagi yang menaruh simpati terhadap sepak terjang Bupati M Adil. Tepuk tangan pun semakin gegap gempita. Sikap Bupati M Adil yang seakan sudah putus syaraf takutnya, terkesan berpotensi menjadi eskalatif ketika media kita yang sangat terbuka secara provokatif menyebut, begitulah harusnya sikap seorang bupati melawan hegemoni kekuasaan pemerintah pusat dalam memperjuangkan kepentingan pembangunan daerahnya. Bupati harus berani melawan ketidakadilan bila dianggap pusat tidak menunjukkan keberpihakan.
Kementerian Keuangan kelihatannya mencoba “berdamai” dengan menambah alokasi anggaran untuk pembangunan Kepulauan Meranti. Tapi kebijakan ini justru terlihat seperti senjata makan tuan. Masalahnya, memperkuat asumsi pemerintah kabupaten kota, bahwa mereka harus berani melawan pusat bila ingin lebih diperhatikan dan mendapat alokasi anggaran lebih besar.
Apa akar masalah dari dinamika politik pemerintahan tersebut? Bila diringkas, akar masalahnya pada satu kata: komunikasi. Bila sedikit mau diurai, maka akar masalah tersebut adalah pada komunikasi politik dan komunikasi pemerintahan. Tak bisa dipungkiri, ada jarak yang berpotensi menimbulkan mispersepsi, misinterpretasi dan miskomunikasi. Jarak itu meliputi jarak geografis, jarak emosional, jarak kultural dan jarak sosial.
Oleh karena itu, secara sederhana, pakar komunikasi dunia Dale Carnegie menyebut, “Masalah terbesar yang Anda hadapi adalah berurusan dengan orang lain.” Dan kuncinya adalah pada komunikasi. Setiap patah kata, setiap isyarat nonverbal, setiap tatapan mata yang hening, akan membentuk persepsi dan akan dimaknai orang lain. Dan dalam era kekinian, pesan yang menjadi inti dalam sebuah peristiwa komuniasi, sampai dengan instan kepada orang lain. Dan orang lain, tak bisa kita harapkan sama persepsinya dengan kita, inilah masalahnya. Maka banyak pakar menyebut, seni komunikasi adalah bahasa kepemimpinan.
Untuk menghindari mispersepsi yang biasanya berakhir dengan kesalahpahaman, nilai budaya Melayu menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Barat menggunakan istilah kolaborasi. Musyawarah dan mufakat dalam mengungkai yang kusut dan menjernih yang keruh, mempersyaratkan pihak-pihak yang berunding harus saling menghormati, saling menghargai, saling percaya, saling terbuka, jujur, tidak memaksakan kehendak, harus duduk sama rendah tegak sama tinggi.
Melihat bahasa tubuh dan senyum simpul ikhlas Gubernur Syamsuar dan Bupati M Adil pada pemotongan nasi tumpeng bersama dalam kenduri kampung di Desa Mantiasa Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kamis (26/1/2023) kemarin, saya yakin, ini merupakan langkah yang baik dalam mengatasi berbagai ambiguitas di Riau yang mencuat sepanjang tahun 2022. Lanjutkan komunikasi nasi tumpeng.(***)
Penulis merupakan Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)