Katakata.id – Dalam momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menyerukan kepada orang muda untuk melanjutkan semangat perjuangan Sumpah Pemuda dengan menuntut keadilan iklim dan keadilan antargenerasi.
Deklarasi Sumpah Pemuda 97 tahun silam menjadi bukti bahwa orang muda memiliki peran penting dalam perjuangan kebangsaan. Kini, semangat tersebut harus diwujudkan dengan menuntut Pemerintah agar serius mewujudkan keadilan iklim bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk generasi mendatang.
Menurut Eko Yunanda, Direktur WALHI Riau, peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini harus menjadi momentum bagi orang muda untuk menghentikan praktik buruk politik elektoral yang selama ini hanya menjadikan mereka alat politik saat pemilu.
“Dalam proses kebijakan, orang muda sering kali tidak dilibatkan. Akibatnya, kebijakan yang lahir tidak berpihak pada kepentingan rakyat, orang muda, dan kelompok rentan lainnya,” tegas Eko.
Eko juga menyoroti pertemuan internasional Conference of the Parties (COP) sebagai forum strategis yang seharusnya menjadi ajang advokasi bagi isu iklim. Ia berharap Pemerintah Indonesia menggunakan momentum COP-30 di Brazil (10–21 November 2025) untuk memperjuangkan solusi nyata dalam mengatasi krisis iklim global, bukan sekadar ajang bisnis seperti yang selama ini terjadi.
“COP selama ini cenderung menjadi kongsi dagang yang memperjualbelikan solusi palsu. Padahal, IPCC sudah menegaskan bahwa upaya saat ini belum cukup mengatasi krisis iklim. Sumpah Pemuda harus menjadi momen menuntut Pemerintah menjadikan isu iklim sebagai prioritas kebijakan nasional,” ujarnya.
Sementara itu, Kunni Masrohanti, Dewan Daerah WALHI Riau, mengingatkan bahwa dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan masyarakat Riau, seperti krisis pangan dan air, cuaca ekstrem, abrasi, dan banjir. Ia menilai industri ekstraktif menjadi salah satu penyebab utama, termasuk perluasan perkebunan kayu, kelapa sawit, dan tambang yang telah mengubah bentang alam Riau.
“Kondisi ini diperparah dengan izin tambang pasir laut atau silika di wilayah pesisir, termasuk lima izin tambang di kawasan Bono, Pelalawan — ikon pariwisata Riau. Keberadaan tambang ini jelas mengancam ruang hidup masyarakat dan memperparah krisis iklim, terutama bagi perempuan yang menanggung beban ganda,” tegas Kunni.
Ia mendesak Gubernur Riau untuk segera mengevaluasi seluruh izin tambang di kawasan Bono sebagai wujud nyata komitmen terhadap mitigasi krisis iklim dan perlindungan ruang hidup masyarakat pesisir.
Dalam kesempatan yang sama, Ismail, Ketua Mapala Humendala FEB Universitas Riau, menyerukan agar orang muda tidak diam terhadap situasi krisis iklim yang semakin parah.
“Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengevaluasi industri ekstraktif, mempercepat transisi energi bersih berkeadilan, memperbaiki sistem pengelolaan sampah, menata perkotaan yang ramah lingkungan, dan menyediakan transportasi publik layak untuk semua,” ujarnya.
Ismail menutup dengan seruan agar orang muda menjadi garda terdepan perjuangan lingkungan:
“Kita sadar bahwa kondisi hari ini adalah akibat dari kebijakan buruk masa lalu. Jika dibiarkan, tidak akan ada masa depan bagi generasi berikutnya. Karena tidak ada masa depan di bumi yang rusak. Wujudkan keadilan antargenerasi sekarang juga!”, tegasnya. (Rls/RA)
