Jadi begini rutenya.
Berangkat dari pos paling awal di Ranu Pani (2100 mdpl) kami menuju Ranu Kumbolo (2400 mdpl). Ketinggian hanya beda 300 m tapi jalur pendakian yang harus dilalui mencapai 9 km. Melewati hutan dengan vegetasi yang rapat. Di kanan kiri jalan setapak yang kami lalui banyak jurang yang rawan longsor. Musim kering berkepanjangan juga membuat jalan menjadi sangat berdebu. Sampai di pos peristirahatan biasanya kami mulai mengecek lubang hidung masing-masing. Hitam semua.
Dari Ranu Kumbolo perjalanan dilanjutkan menuju Cemoro Kandang. Jalur ini lebih asik. Mendaki menuruni lereng tetap. Tapi kemudian ada padang rumput semacam savana sangat luas yang memanjakan mata. Dinamakan Oro-oro Ombo yang dalam bahasa Jawa berarti padang rumput yang luas. Seluas mata memandang memang. Di musim hujan Oro-oro Ombo akan dipenuhi oleh hamparan bunga berwarna ungu eksentrik.
Banyak orang mengira itu adalah lavender, namun sebenarnya itu asal tuduh saja. Bunga ungu yang menghampar di Oro-oro Ombo adalah Verbena brasiliensis. Bunga cantik tapi jahat yang merugikan vegetasi di sekitarnya. Bahkan sekelas edelweispun mati karenanya. Tersebab si Verbena adalah sejenis gulma yang menghisap banyak air sekaligus menghisap harapan hidup tumbuhan di sekelilingnya. Sebenarnya bunga ini ingin dimusnahkan, tapi karena sangat luas jadi mungkin petugas kecapekan
Yang suka selfie sambil injak-injak bunga harusnya kesini. Tersebab ini tempat yang sangat tepat untuk menginjak-injak.
Lupakan bunga ungu jahat itu, karena dia hanya ada di musim hujan. Kami yang datang ke Semeru di musim kemarau ini tentu saja tak berjodoh bertemu. Yang tersisa di padang ini kemudian hanyalah hamparan rumput kering berwarna kuning kecoklatan. Itu saja bukan main indahnya.
Jalur Ranu Kumbolo – Cemoro Kandang sekira 2,5 km. Ah pasti itu salah hitung. Karena aku letih sekali berjalan. Pasti lebih dari itu. Pasti bapak yang mengukur jalan sedang kurang fokus saat menghitung, salah meletakkan koma di tengah angka. Itu pasti 25 km. Aku yakin sekali.
Setelah puas mengitari Oro-oro Ombo, maka sampailah kami di Cemoro Kandang. Perbedaan besar antara keduanya adalah jenis vegetasinya. Oro-oro Ombo mutlak padang rumput, sementara bila sudah nampak pepohonan besar dan rapat di depan, maka itulah Cemoro Kandang. Teduh. Sejuk. Dingin.
Sampai di Cemoro Kandang tujuan berikutnya adalah Jambangan, sekira 3 km pendakian. Malam mulai menjelang. Kamipun bersiap melakukan perjalanan dalam kegelapan. Masing-masing mengeluarkan head lamp, semacam lampu senter yang dipakai dengan cara dililitkan di kepala. Kerenlah pokoknya.
Aku suka ini. Jalan di hutan malam-malam begini. Bungah rasanya. Kecintaanku pada malam dan hutan bertemu. Sesekali aku lirik kanan kini. Walaupun berdebar-debar selintas berharap melihat mata cemerlang atau warna belang-belang. Panthera pardus, macan tutul, jalur perlintasannya kami lewati. Ah pikiran yang nakal.
Aku letih sekali. Sedari pagi kami berjalan dan mendaki. Tapi sesampainya di Jambangan masih ada 2 km lagi menuju Kalimati, tempat peristirahatan malam ini. Apa yang ku harapkan sesampainya di Kalimati? Air untuk bersih-bersih, tempat tidur yang empuk dan hangat, malam yang sempurna untuk beristirahat. Oh khayalanmu terlalu tinggi mak…
Tak ada air, juga tak ada kamar yang empuk dan hangat. Aku sholat bersucikan debu. Letih hingga ke tulang. Lalu kedinginan. Kepalaku mulai pusing. Dan ketika makan malam mulai dihidangkan, seleraku melayang. Menunya, nasi rawon. Hangat. Suapan pertama, perutku berontak ingin mengeluarkan isinya. Oh sungguh perut udik, kenapa harus sekarang.
Baik, mungkin karena dagingnya. Suapan kedua, kita coba tanpa daging. Cukup nasi saja. Berontak untuk kedua kalinya. Aku menyerah. Kuletakkan sendok di piring.
“Makan dek…dipaksa…” abang menegur.
Oke. Suapan ketiga. Setengah sendok.
“Mual bi…mau muntah. Udah. Ga mau lagi…”
Aku menunduk. Mulai bersedih. Pendakian menuju puncak Semeru akan dimulai tengah malam nanti. Bagaimana aku akan mendaki menuju puncak dengan kondisi begini?
Kau tahu kawan? Puncak Semeru itu istimewa, tak sama dengan puncak gunung lainnya. Terkenal dengan kesulitan treknya. Perhatikan bentuk puncak Semeru yang lurus mengkerucut itu, terjal dan berpasir tebal. Tak main-main, dengan kemiringan sekira 70°-80°, bila hilang fokus oleng sedikit kau bisa jatuh menggelinding ke bawah. Batuan dan pasir membuat langkahmu memberat, baru mendaki selangkah merosot turun selangkah. Belum lagi ancaman batu-batu yang sewaktu-waktu dapat jatuh menimpa kepalamu. Maka para pendaki puncak disarankan memakai pelindung setangguh helm untuk melindungi kepala.
Puncak Semeru, sungguh, hanya pendaki bermental baja yang bisa menempuhnya. Sedang mentalku? Melempem digerus letih dan dingin. Belum lagi mual dan sakit kepala tak penting yang tiba-tiba datang di saat-saat genting. Mungkin karena tubuhku baru bertemu dengan gunung, baru berkenalan dengan dingin dan ketinggian, masih beradaptasi, mencari chemistry, biar ngeklik gitu. Ah ada-ada saja.
Kalimati berada di ketinggian 2700 mdpl. Shelter terakhir, batas pendakian yang disarankan oleh pihak berwenang. Puncak Semeru masih 2,7 km lagi. Masih ada Arcopodo, batas berakhirnya vegetasi, hingga yang tersisa hanya batu cadas dan pasir sampai ke puncak. Jalur semustahil itu pastilah bukan untuk manusia biasa. Harus manusia setengah dewa. Pasti begitu.
Tengah malam, saat teman-teman bersiap memulai pendakian ke puncak, aku masih mencoba merayu lelaki itu.
“Bang, boleh ya aku ikut summit?”
“Ndak.”
“Udah sehat kok…insyaAllah kuat…”
“Tidak!” Jawabnya tegas.
Yahh…
Tidak disarankan memang mendaki hingga puncak Semeru. Tapi tahukah kau kawan? Mendaki gunung tanpa sampai ke puncak itu bagiku bagaikan atlet yang pulang tanpa medali. Kau sudah berusaha tapi kau tak juara. Ah tak apalah. Kembali pulang dengan sehat, itu yang paling utama.
Dari 26 orang tim kami, hanya 16 orang yang berhasil sampai ke puncak, 2 diantaranya perempuan perkasa. Sisanya ada yang memang memutuskan menunggu di Kalimati karena kondisi fisik yang tak memungkinkan. Ada juga yang sudah berangkat namun di tengah jalan memutuskan untuk kembali karena tak sanggup lagi meneruskan perjalanan.
Kami yang menunggu di bawah bagaikan supporter, reporter sekaligus manajer. Live report, mendengar, mengamati dan terus memantau laporan sejauh mana pergerakan teman-teman di atas menggunakan handy talky. Harap-harap cemas semoga semua kuat dan selamat.
Setelah 7 jam menunggu, akhirnya tim sampai ke puncak Semeru. Berangkat pukul 1 dini hari dan tiba di puncak pukul 8 pagi.
Alhamdulillahu wallahu akbar…
Mataku merebak, terharu. Bahkan lelaki terkuatpun ketika berhasil sampai ke puncak Semeru akan menangis tersedu.
Aku belajar banyak hal dari pendakian ini. Tentang kepasrahan, keikhlasan, ketekunan, semangat, perjuangan menembus batas, juga tentang kebersamaan dan persaudaraan.
Seluruh pendaki sudah harus turun dari puncak sebelum jam 10 pagi. Karena pada saat itu arah angin berubah dan ancaman gas belerang bisa mengancam sewaktu-waktu. Ini mematikan. Seperti yang terjadi pada Soe Hok Gie dulu.
Lalu mereka pun datang, mereka yang berhasil sampai ke puncak kembali turun ke posko di Kalimati. Ah kami menyambutnya bak pahlawan. Mereka sungguh-sungguh pejuang. Alhamdulillah semua sehat dan selamat.
*
Bersiap-siap pulang. Aku berpikir tentang menuruni gunung dengan trek sejauh hampir 20 km itu. Oh tidak. Perutku langsung mual lagi.
Selesai
Penulis : Lufita Nur Alfiah