Katakata.id – Rezim Jokowi memanfaatkan hukum untuk kepentingan politik. Kemudian titik kulminasi berkuasanya orde baru seperti kembali. Orde baru itu kan militer aktif dan sudah purnawirawan yang sudah memegang sumber-sumber daya ekonomi. Kita lihat sekarang, dulu yang anti prabowo sudah dukung prabowo.
Hal itu disampaikan Pengamat Politik dan Kebijakan, M. Rawa El Amadi saat berbincang dengan Katakata melalui sambungan telepon, Rabu (7/2/2024).
Rawa berpandangan bahwa mereka mendukung karena Prabowo lah titik harapan terakhirnya untuk memperpanjang nafas orde baru itu. Kalau tak mau disebut orde baru ya semu orde baru istilahnya. para akademisi kampus menyadari hal itu meskipun UGM memulai dari alumni tapi kan kampus lain itu merasa sebuah kesadaran bersama muncul itu dilakukan agar Indonesia tidak lagi kembali seperti orde baru atau minimal itu mendekati orde baru.
“Paling minimal itu adalah masa dari awal orde baru sampai sekarang itu mulai berubah tidak lagi seperti itu,” ujarnya.
Rawa menilai jika proses itu tetap berlanjut maka Indonesia akan menjadi lebih buruk dalam pikiran orang-orang kampus.
Presiden Cawe Cawe
Rawa menerangkan memang Presiden itu kita tahu mempunyai dua badan yang melekat ditubuhnya pertama ia sebagai pejabat negara dalam arti sebagai presiden atau kepala negara dan yang kedua ia sebagai pejabat politik.
“Kalau sebagai pejabat politik kan memang dia mempunyai hak untuk lakukan aktivitas politiknya. Cuma masalahnya posisi Jokowi sekarang itu tidak dalam posisi pejabat politik,” terangnya.
Menurutnya, dia tidak mewakili satu partai pun. Jadi posisi politiknya dimana? secara jabatan pemerintahan dia itu sudah minus dukungan karena dia sudah ditolak secara halus bertentangan dengan partai pengusungnya.
“Jadi Jokowi itu sudah minus jabatan politiknya. Ia tidak mendukung partai yang mendukungnya, itu kan jadi aneh,” ungkapnya.
Rawa berpandangan itu mengindikasikan bahwa Jokowi itu mementingkan kelompoknya sendiri bukan pendukung partai. Ia menunjukkan mendukung Gibran secara terbuka dan itu nepotisme.
“Walaupun yang memilihnya masyarakat tetapi dia tidak boleh dong mendukung langsung seperti di Filipina,” ujarnya.
“Filipina itu bukan negara yang memiliki indikator demokrasi yang baik. Sikap presiden jokowi itu tidak bisa direfresentasikan sikap warga negara tetapi itu adalah sikap individu yang mementingkan individunya,” tegasnya.
Terkait perkembangan demokrasi dari sisi penyelenggaraan pemilu, Rawa mengatakan itu kan sebagai implikasi langsung ketika presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara itu terlibat dalam satu proses politik yang tidak beretika.
“Dalam proses politik sekarang ini tarik menarik,” ujarnya.
“Tapi kalau negara melarang melakukan tindakan itu, tidak akan terjadi nah sekarang negara membiarkan terkait dengan perilaku politik tidak etis yang dilakukan oleh rezim Jokowi,” pungkas Rawa.
(Rasid Ahmad)